Selasa, 31 Januari 2017

MUTU LAYANAN BIROKRAT



Oleh : Harliantara *)


Pasangan calon gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta akan melakukan debat yang kedua. Tema debat kali ini adalah Reformasi Birokrasi dan Pelayanan Publik. Acara debat dimoderatori oleh presenter Tina Talisa yang didampingi oleh mantan Wakil Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Eko Prasojo. Postur birokrasi DKI Jakarta pada saat ini mencapai 72.000 orang. Menurut Badan Kepegawaian Daerah (BKD) DKI Jakarta, jumlah pegawai negeri sipil (PNS) Pemprov DKI Jakarta yang ideal adalah sekitar 30.000 orang. Jumlah diatas terlalu berlebihan. Itu juga belum termasuk pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (P3K). Terlalu gemuknya birokrasi menyulitkan usaha transformasi birokrasi. Pada saat ini birokrat Ibukota dituntut memiliki daya inovasi pelayanan. Seperti halnya korporasi swasta, birokrasi harus senantiasa mengembangkan inovasi layanan publik. Perlu transformasi layanan agar negeri ini bisa berkompetisi dalam tatanan global. Diharapkan transformasi layanan diatas mengandung inovasi bersifat disruptive innovation. Indonesia membutuhkan sangat banyak inovasi yang bersifat disruptive disegala lini birokrasi pemerintahan. Selama ini inovasi banyak diasosiasikan dengan inovasi pada produk, tetapi sebenarnya inovasi bisa dilakukan pada banyak kategori yang lain termasuk layanan birokrasi. Larry Keeley, menyebutkan bahwa ada empat kategori inovasi yang meliputi, pertama, Process (Innovative process dan core process), kedua, Offering (Product/service performance, Service System, dan Customer Service), ketiga, Delivery (channel, brand, customer experience ), dan keempat, Finance (Business Model dan Value Network ). Era globalisasi adalah keniscayaan untuk memperbaiki mutu pelayanan birokrasi sesuai dengan kemajuan teknologi. Mengingat pada saat ini perlakuan buruk terhadap publik atau pelanggan justru sering dilakukan oleh birokrasi pemerintah dan badan usaha seperti BUMN, BUMD dan unit kantor pelayanan publik. Nampaknya lembaga diatas masih banyak yang mengabaikan faktor kepuasan pelanggan. Badan usaha dan birokrasi pemerintah perlu mencari platform untuk mewujudkan kebudayaan layanan yang mencerahkan. Berbagai kasus buruknya mutu pelayanan publik sebaiknya diatasi dengan membangun budaya pelayanan yang lebih efektif dengan bantuan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) terkini. Dengan itu diharapkan perilaku dan budaya birokrasi daerah yang tidak sesuai dengan semangat mutu pelayanan bisa dieleminasi. Birokrasi perlu mencontoh korporasi swasta yang telah melakukan pelanggan secara prima. Untuk membuat pelanggan merasa puas dan bahagia perlu tindakkan yang mendasar guna menanggapi keluhan pelanggan. Dunia usaha dan industri sangat bergantung pada pelanggan. Karena itu perlu memperhatikan kebutuhan, memberikan apa yang diinginkan pelanggan agar merasa bahagia. Cara itu dikatakan,“A simple ways to make your costomer”. Kini tren korporasi global telah bertransformasi dari pendekatan transaksional ke pendekatan relasional dengan berfokus kepada pemenuhan kebutuhan, kepuasan dan kesenangan pelanggan. pihak produsen hendaknya mencari metode yang efektif untuk mempertahankan pelanggan untuk jangka panjang atas dasar kepercayaan dan kesetiaan pelanggan. Pelayanan pelanggan atau customer service bukan hal baru. Cara ini sudah dirintis sejak industrialis otomotif Amerika Serikat, Henry Ford, sebelum Perang Dunia II. Henry Ford menekankan perusahaan hendaknya dapat menciptakan barang yang berkualitas (overcommitment of quality), dipercaya (reability), dan pelayanan yang prima (excellence service). Tujuannya tidak lain agar pelanggan tetap loyal dan menghasilkan profit untuk jangka panjang bagi perusahaan. Kita dapat membedakan tiga tingkat kepuasan pelanggan. Pertama, menemukan kebutuhan pokok pelanggan (the basic needs of the customer). Kedua, menemukan apa yang sebenarnya menjadi harapan dari pelanggan, sehingga mereka mau kembali datang. Ketiga, selalu memperhatikan apa apa yang menjadi harapan pelanggan, dan melebihi seperti apa yang di harapkan pelanggan. Tak bisa dimungkiri bahwa produk, penjualan,dan pelayanan merupakan segitiga besi yang tidak dapat dipisahkan. Suksesnya suatu usaha berkat suatu dukungan, dan dukungan itu membuahkan hasil, pelayanan yang baik. Usaha yang baik memerlukan produk yang baik, itu saja tidak cukup, pelayanan yang diberikan kepada pelanggan juga harus baik. Dengan cara itu maka usaha akan berkembang sampai mencapai kapasitas optimalnya. Kepuasan pelanggan tidak berakhir dan hilang begitu saja. Ia memberikan bermacam-macam manfaat bagi perusahaan dan karyawan.Ditengah masih buruknya mutu pelayanan birokrasi dan badan usaha pemerintah daerah, perlu pilihan teknologi yang tepat yang bisa membantu terciptanya "bahasa mutu" pelayanan pelanggan. Masalah manajemen mutu, menurut pakar manajemen mutu Deming memerlukan kondisi constancy of purpose. Untuk itu diperlukan fokus yang mantap pada misi organisasi tentang perbaikan mutu yang berlangsung terus-menerus disertai pengendalian mutu dengan statistik serta tercapainya budaya kerja untuk memberikan pelayanan yang optimal dari segenap lini organisasi. Saatnya manajemen mutu dikembangkan dan dikomunikasikan lebih jauh oleh jajaran birokrasi dan badan usaha pemerintah pusat dan daerah yang kini kondisinya masih belum menggembirakan. Perlu lembaga khusus untuk mengkonkritkan langkaha diatas. Badan itu bisa mencontoh Ben Franklin Partnership Center yang didirikan pada 1993 untuk meningkatkan daya saing perusahaan yang berada di Pennsylvania, terutama lewat difusi dan inovasi teknologi di bidang pelayanan pelanggan. Selama ini manajemen mutu termasuk mutu pelayanan publik dari birokrasi dan badan usaha pemerintah banyak yang belum melakukan benchmarking untuk menemukan sifat, proses, dan pelayanan produk terbaik dari yang ada dan menggunakannya sebagai standar untuk memperbaiki produk, proses, dan pelayanan. Pemerintahan Joko Widodo perlu membuat komitmen nasional untuk menyempurnakan pelayanan kepada publik atau pelanggan. Hal itu merupakan komitmen tertinggi sebuah bangsa terhadap mutu seperti yang pernah dijalankan di Amerika Serikat dalam bentuk Malcolm Baldrige National Quality Award. Selama ini penghargaan Baldrige langsung diserahkan oleh Presiden Amerika Serikat. Penghargaan tersebut dimulai pada 1987 untuk mengakui entitas bisnis, industri dan organisasi yang telah memberikan kontribusi menonjol lewat upaya mutu dan layanan terbaik terhadap pelanggan yang mereka lakukan. Masyarakat melihat reformasi birokrasi terhadap aparatur negara selama ini masih setengah hati. Reformasi belum menyentuh perbaikan kinerja birokrasi secara signifikan dan terukur. Perlu metode untuk mentrasformasikan diri PNS. Harus dicari metode pengembangan kepribadian unggul birokrat. Pada gilirannya terwujudnya kepribadian unggul birokrasi akan mewarnai kepribadian nasional. Hal itu tercermin dari negara-negara yang memiliki indeks pelayanan birokrasi yang baik. Seperti di Singapura, Korea Selatan dan Tiongkok. Kepribadian birokrasi di negara-negara tersebut mampu melayani publik secara prima dan bisa mengikuti kemajuan teknologi. Buah dari keberhasilan pengembangan kepribadian birokrasi adalah meneguhkan kepribadian nasional yang berimplikasi membaiknya produktivitas nasional dan terwujudnya ketertiban umum. Dalam tataran sosiologi, kepribadian nasional adalah karakteristik yang harus dimiliki suatu bangsa sebagai perwujudan dari cita-cita, pengalaman sejarah dan budayanya. Nilai-nilai filosofis untuk membangun kepribadian nasional sangat dibutuhkan dalam persaingan global.

*) Tulisan ini dimuat juga di KORAN JAKARTA pada hari Kamis, 26 Januari 2017)