Jumat, 29 Juli 2016

Dr. Harliantara, Drs., M.Si. Memberikan Pelatihan SDM Di PT. Kalimantan Sawit Kusuma, Yang Dihadiri Bapak Dan Ibu Wakil Bupati Kabupaten Sukamara, Kalimantan Tengah



Rabu, 27 Juli 2016

Dr. Harliantara, Drs., M.Si. Berbagi Ilmu Komunikasi Terapan Dengan Siswa John Robert Powers Denpasar Bali (Reguler Class, 18-21)







Selasa, 26 Juli 2016

Pembekalan Materi : "Effective Communication & High Impact Presentation" Instructor: Dr. Harliantara, Drs., M.Si. at John Robert Powers Denpasar Bali (TOT Bank Nagari Sumatera Barat)





RUU PENYIARAN PERAN PEMERINTAH DOMINAN, Koran Tribun Jabar, 21 Juli 2016


Di dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) disebutkan bahwa RUU Penyiaran masuk dalam prioritas Prolegnas Tahun 2016 sebagai RUU Perubahan, namun memperhatikan substansi dan ketentuan teknis perancangan perundang-undangan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, sudah selayaknya UU Penyiaran diganti, mengingat sistematika, materi berubah lebih dari 50 % (lima puluh persen), serta esensinya  berubah maka UU Penyiaran harus diganti. Penggantian ini dimaksudkan untuk lebih memberikan kepastian dan ketertiban hukum dalam penyiaran dalam rangka mengantisipasi perkembangan teknologi di bidang penyiaran.

Namun tidak dapat dipungkiri bahwa UU Penyiaran merupakan salah satu pedoman bagi industri penyiaran untuk menjalankan kegiatannya dalam menyalurkan informasi dan memberikan pelayanan umum kepada publik, namun beberapa muatan materi atau substansi yang terkandung di dalam UU Penyiaran tersebut telah menimbulkan adanya ketidakjelasan dan multitafsir yang berbeda-beda sehingga mengakibatkan persoalan.

DPR saat ini tengah menggodog finalisasi RUU penyiaran tersebut dan ada yang menarik untuk dikritisi yaitu masalah “demokratisasi penyiaran”. Dalam negara yang menggunakan sendi demokrasi maka pers dan penyiaran seharusnya bebas serta  tidak memihak pada  pemerintah dan penguasa. Demokratisasi penyiaran  tidak memihak pada pemerintah namun diselenggarakan atas asas demokrasi. Dominasi pemerintah dalam penyiaran harusnya hilang. Dalam RUU Penyiaran, peran Pemerintah sangat dominan dan KPI tak memiliki peran dalam dunia penyiaran. Ada kekhawatiran dominasi KPI akan dihilangkan. KPI lemah karena struktur yang sentralistik antara KPI dan KPID. Dominasi pemerintah hilang kalau KPI menguat. KPI menguat apabila penataan struktur KPI mengacu pada sistem pemerintahan desentralisasi Pasal 18 B UUD NRI 1945.

Undang Undang Penyiaran lahir karena tuntutan demokratisasi di bidang penyiaran. Pemerintah di jaman orde baru memiliki kekuasaan yang sangat besar terhadap Penyiaran. Masyarakat dibatasi haknya untuk memperoleh informasi yang layak dan benar sesuai dengan hak asasi manusia, semua dibawah kendali Pemerintah. Demokratisasi meletakkan tanggung jawab ada di masyarakat dari, oleh dan untuk masyarakat maka regulator pemyiaran tidak hanya ada di tangan pemerintah tetapi juga di tangan lembaga negara independen yang merupakan representasi dari masyarakat untuk turut serta mengatur Penyiaran, yaitu KPI/KPID.

Hubungan KPI-KPID

Hierarki Desentralisasi (berpotensi dicabut/ tidak difasilitasi Pemda, sentralistik tidak sesuai dengan semangat otonomi daerah dan hakikat SSJ). Hubungan KPI dan KPID yang bersifat hierarki sentralistik dalam RUU Penyiaran  tidak sesuai dengan UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 12 ayat (2) huruf j bahwa komunikasi dan informatika adalah urusan pemerintahan wajib yang menjadi kewenangan Pemerintah Daerah. Komunikasi dan informatika adalah otonomi daerah maka KPID seharusnya diberikan kewenangan otonomi untuk menjalankan kewenangannya di daerah.

Selama ini KPID yang sangat mengerti kondisi penyiaran di daerah, dengan sistem sentralistik akan menjauhkan akses masyarakat lokal terhadap penyiaran akibatnya adalah sebagai berikut: lambatnya tindak lanjut terhadap aduan masyarakat, menyebabkan pelayanan publik terhambat, kebutuhan dan masalah di masing-masing daerah sangat spesifik, KPI (terpusat) saja tidak akan dapat mengatasi permasalahan di masing-masing daerah karena kapasitas SDM terbatas. Karakteristik, norma dan nilai yang hidup di masyarakat masing-masing daerah sangat berbeda, sensitivitas itu tidak dapat seluruhnya ditangkap dan ditangani secara cepat dan tepat oleh KPI (terPusat), Overload beban kerja KPI (terPusat).

KPID bukan lagi representasi dari masyarakat daerah karena dipilih oleh pusat maka konsekuensinya KPID tidak berwenang untuk mengawasi pelaksanaan SSJ. Selain bertentangan dengan semangat otonomi daerah hubungan sentralistik juga bertentangan dengan semangat SSJ. Lembaga penyiaran telah berproses melakukan SJJ, menyiarkan program siaran lokal.Segala urusan terkait SSJ yang selama ini menjadi kewenangan KPID tidak dapat ditangani seluruhnya oleh KPI terpusat.
Hubungan sentralistik memiliki konsekuensi segala macam sarana prasarana penunjang kinerja KPID yang selama ini difasilitasi oleh Pemda melaui APBD dicabut, misal: fasilitas kantor, mobil dinas, dll karena segala sarana prasarana KPID disediakan oleh APBN yang belum tentu sesuai dengan kebutuhan daerah dan kemungkinan besar dana APBN tidak mencukupi anggaran KPID.
RUU Penyiaran yang diusulkan: Pasal 33 ayat (4) KPI dengan perwakilan KPI di daerah memiliki hubungan yang bersifat hierarkis. Pasal 37 ayat 2 : Dalam menjalankan fungsi, tugas, dan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (2), Pasal 35 ayat (2), dan Pasal 36 ayat (2) Perwakilan KPI di daerah diawasi oleh KPI. Dan Pasal 55 : Dalam menjalankan fungsi, tugas, dan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal  35 ayat (2) dan Pasal 36 ayat (2), perwakilan KPI di daerah menyampaikan laporan kepada KPI.

Kewenangan Perijinan sepenuhnya ada di tangan Pemerintah.

Kewenangan di bidang  “perijinan” seharusnya tetap dimiliki oleh KPI dalam Pasal 35 ayat 1 huruf c KPI memberikan rekomendasi kepada Pemerintah terhadap konsep Isi Siaran yang diajukan oleh Lembaga Penyiaran dalam proses perizinan” kewenangan tersebut direduksi. 
Berangkat dari kekhawatiran DPR bahwa kewenangan ini kerap disalahgunakan oleh KPI/KPID, sebaliknya apakah kekhawatiran tersebut terjawab dengan melimpahkan kewenangan penataan struktur dan sistem siaran pada Menkominfo.

Berikut potensi resikonya: potensi terjadi penyalahgunaan kewenangan hanya  berpindah keKominfo, penataan sistem dan struktur siaran hanya oleh pemerintah akan berpotensi mengesampingkan kepentingan publik (partisipasi masyarakat dalam proses perijinan yang selama ini difasilitasi dalam forum EDP akan hilang, pemerintah sulit melakukan affirmative action terhadap lembaga penyiaran komunitas, akuntabilitas juga akan sulit dipantau oleh masyarakat, kewenangan memperoleh ijin hanya ada pada satu kaki berarti potensi pembreidelan atau pencabutan ijin sepihak oleh pemerintah juga besar (kembali ke jaman orba).

Penguatan KPID

KPID perwakilan dari KPI Pusat di daerah. Selama ini KPID yang  memahami kondisi penyiaran di daerah dan mengerti kebutuhan masyarakat di daerah akan penyiaran. Untuk negara kepulauan seluas Indonesia sangat mustahil urusan tersebut disentralisasi oleh pusat. Dalam RUU Penyiaran Pasal 35 ayat (2) Pasal Perwakilan KPI di daerah bertugas: melakukan pemantauan Isi Siaran di daerah; mengedukasi publik dalam hal penerimaan Isi Siaran; melakukan literasi media di daerah; menerima keluhan masyarakat untuk disampaikan kepada KPI; dan melaksanakan tugas-tugas lain yang diberikan oleh KPI. Dan Pasal 36 ayat 2:     Perwakilan KPI di daerah berwenang: mengawasi Isi Siaran di daerah; melakukan sosialisasi P3 dan SPS di daerah; menerima dan menyampaikan keluhan masyarakat terkait dengan Isi Siaran di daerah kepada KPI; dan melaksanakan kebijakan KPI di daerah. Apabila pasal-pasal tersebut diimplementasikan akan terjadi hal sebagai berikut: KPID wajib dibentuk àeksistensi dan dasar pembentukan (respon atas KPID dapat dibentuk)  Pasal 33 ayat (2) KPI dapat membentuk perwakilan KPI di daerah.

Potensi kriminalisasi lembaga penyiaran

Dengan tidak adanya KPI Daerah memungkinkan terjadinya kriminalisasi akibat aduan masyarakat tidak diseleksi dan ditelaah oleh KPID (lembaga yang berkompeten). Masyarakat langsung mengadu ke aparat hukum dan ditindaklanjuti sebagai bentuk pidana.  

Bersama Windu Subagio Wakil Bupati Kabupaten Sukamara Kalimantan Tengah


Kamis, 14 Juli 2016

Silaturahmi Teman Teman Lama Surabaya 90-an

Silaturahmi Teman Teman Lama Surabaya 90-an (Dharono Mantan Wartawan Harian SURYA Dan Dr. Pitoyo, M.Si Yang Kini Pimpinan Tribun Jabar). Mereka Kini Tinggal Di Bandung.



Silaturahmi Teman Teman Lama Surabaya 90-an

Silaturahmi Teman Teman Lama Surabaya 90-an (Dharono Trisawego Mantan Wartawan Harian SURYA Kini Pengusaha dan Mengelola Majalah Sakinah Serta Dr. Pitoyo, M.Si Yang Kini Pimpinan Tribun Jabar). Dulu Kami Berteman Di Surabaya, Usia Kami Masih 30-an dan sekarang....... hihihihihi...Saat Ini Kami Semua Tinggal Di Bandung.



Kamis, 07 Juli 2016

KAPITA SELEKTA KOMUNIKASI FORUM DISKUSI RADIO INDONESIA Oleh Dr. Harliantara, Drs., M.Si.




KAPITA SELEKTA KOMUNIKASI FORUM DISKUSI RADIO INDONESIA

Oleh; Dr. Harliantara, Drs. M.Si.

PENGANTAR
Anggota FDR INDONESIA meluangkan waktunya untuk berkomunikasi melalui medium internet dengan aplikasi milis yahoo group dan page Facebook serta setahun sekali berkumpul di satu tempat untuk berdiskusi secara langsung dalam FDR SUMMIT. Kami berbicara, mendengar, berdialog, berpartisipasi dalam diskusi kelompok dan sebagainya. Dari sejak berdiri 17 November 2007 FDR INDONESIA membentuk kehidupan personal, profesi, hubungan antar personal dan sosial.
Nilai-Nilai Personal
Berhubungan dengan identitas personal selama anggota FDR INDONESIA berkomunikasi dengan orang lain dan berada di lIngkungan industri radio. Pada masa awal kehidupan di dunia radio, para pengelola radio berbicara pada kita tentang siapa kita. “Kamu suaranya bagus”, “Kamu memiliki intelektual yang bagus”, “Kamu orangnya humoris”. “Kamu orangnya rajin dan jujur”. “Kamu emsosional”, “Kamu orangnya bisa kerjasama”, "Kamu Kerjanya Cepat", Kamu Kerjanya Lambat", dan lain-lain. Kita memahami diri kita sendiri melalui mata orang lain dalam hal ini kita mengetahui dari mereka yang menyeleksi kita masuk ke dunia radio, sehingga pesan-pesan mereka membentuk landasan konsep diri yang penting di dunia radio. Kemudian kita berinteraksi dengan senior pelatih radio, teman praktisi radio, teman dekat, teman sekerja, mereka orang-orang yang menyampaikan pandangannya mengenai kita. Kemudian bagaimana kita melihat diri kita sendiri yang merefleksikan pandangan-pandangan mengenai diri kita yang disampaikan orang lain.
Komunikasi dengan orang lain tidak hanya mempengaruhi “sense of identity” kita, namun secara langsung mempengaruhi juga tingkat keresahan dan depresi. Secara konsisten penelitian menunjukkan bahwa orang yang sedikit akrab memiliki tingkat keresahan dan depresi yang lebih tinggi dari pada orang-orang yang berhubungan akrab dengan orang lain.
Nilai-Nilai Hubungan
Komunikasi juga merupakan landasan utama dalam hubungan sesama anggota FDR INDONESIA. Anggota harus berhubungan dengan orang lain dengan menampakkan identitas pribadinya, membaca pesan milis , membaca dan menulis pesan serta mendengarkan diskusi langsung untuk mempelajarinya, memecahkan masalah dalam setiap isyu yang dikembangkan dalam diskusi di milis maupun page website, mengingat kembali masa lalu, dan merencanakan masa depan.
Komunikasi walau bagaimanapun adalah penting lebih dari sekedar untuk mengakrabkan diri dalam FDR INDONESIA. Kebanyakan anggotanya, setiap hari menulis, membaca, berpikir, berpendapat dengan verbal di milis dan diskusi langsung dengan mendengar dan berbicara.
Nilai-Nilai Profesi
Keterampilan berkomunikasi mempengaruhi dalam sebuah profesi. Pentingnya komunikasi nampak dalam profesi kepenyiaran radio, dimana membaca, berbicara, mendengarkan, dan menulis merupakan aktivitas pokok.
Nilai-Nilai Kultural
Keterampilan berkomunikasi yang baik membutuhkan keterlibatan dalam kehidupan sosial. Dalam kultur pluralistik, kita berinteraksi dengan orang-orang yang berbeda dengan kita, dan kita harus mengetahui bagaimana caranya memahami dan bergaul dengan mereka yang ada diseluruh anggota FDR INDONESIA dari Sabang sampai Merauke. Komunikasi adalah penting untuk kehidupan personal, profesi dan budaya. Karena komunikasi merupakan dasar kehidupan manusia.
I. SEKILAS TENTANG FDR INDONESIA
Perjalanan yang panjang berhimpunnya orang-orang yang mencintai radio baik dari kalangan praktisi radio (publik,swasta, maupun komunitas), pengamat radio, akademisi, periklanan, kehumasan dan masyarakat umum dalam sebuah forum untuk membahas tren industri radio di Indonesia. Berhimpunnya orang-orang yang mencintai radio ini diwadahi melalui FORUM DISKUSI RADIO (FDR) INDONESIA yang didirikan pada tanggal 17 November 2007. 

Kegiatan awalnya adalah diskusi radio melalui milis yahoo group dan hanya beranggotakan Harley Prayudha (saat itu masih sebagai General Manager Delta FM Surabaya) dan Herru Soleh (saat itu masih berada di Radio Suara Surabaya sebagai Business Development Manager), Bonny Prasetya Station Manager dari Radio Swaragama Yogyakarta, dan Agung Prasetyo Station Manager dari Radio BOM FM Semarang. Obrolan khas orang-orang radio ngalor ngidul tentang kegelisahan mengamati industri radio yang terus menurun menjadi pemicu kreativitas dan ide ide yang muncul secara liar untuk bisa di implementasikan di stasiun radionya masing-masing serta ditularkan pada yang lainnya. Diskusi di milis ini lebih mengarah kepada aspek-aspek radio siaran seperti sumber daya manusia, program, marketing, promosi, keuangan, teknik, sampai ke perkembangan teknologi penyiaran termasuk inovasi berbasis new media. Berbagi Informasi dan ilmu rutin dilakukan setiap hari di internet. Kemudian keanggotaan milis bertambah dan sebagai langkah untuk penyebaran informasi kegiatan dibuat juga page Facebook
Logo FDR INDONESIA dibuat oleh salah satu anggota yang memiliki kemampuan desain grafis yaitu Arie Ardianto - DJ Arie (FDR 010) dari Bandung sebagai simbol keseriusan wadah FDR INDONESIA yang hasil karyanya dipergunakan hingga sekarang.
Seirama dengan perjalanan waktu para pendiri dan anggota terus mengundang teman-teman lain yang mencintai radio untuk bergabung di FDR INDONESIA melalui komunikasi tatap muka maupun internet. Pada perkembangannya anggota terus bertambah, saat ini jumlah anggota 686 Orang dari beberapa kota di Indonesia dengan nomor anggota sesuai urut bergabungnya.
DISTRICT anggota yang terdaftar pada FDR INDONESIA sudah mulai menyebar sesuai urut keanggotaan diantaranya: Bandung, Bogor, Yogyakarta, Semarang, Malang, Jakarta, Samarinda, Tarakan, Palembang, Batu Malang, Makassar, Depok, Cirebon, Lampung, Denpasar, Serang Banten, Pekanbaru, Madiun, Tulungagung, Medan, Banda Aceh, Banjarmasin, Kediri, Kupang, Pontianak, Lubuklinggau, Surabaya, Mataram, Solo, Cianjur, Garut, Pangkalan Bun, Tangerang, Karawang, Bekasi Batam, Jember, Pematangsiantar, Palangkaraya, Banyuwangi, Salatiga, Flores, Subang, Kendari, Bojonegoro, Magelang, Tebingtinggi, Balikpapan, Bengkulu, Palopo, Jepara, Trenggalek, Pangkajene Pangkep, Sidoarjo, Lahat, Tasikmalaya, Indramayu, Sumenep, Sukabumi, Bontang, Kapahiang Bengkulu, Banjar Baru, Bukittinggi, Wonogiri, Tanjung Pati Payakumbuh, Pekalongan, Ciamis, Jombang, Tanjungpandan Belitung, Pandeglang, Ponorogo, Kambanjahe, Pematangsiantar, Kepanjen Malang, Lebak Pandeglang, Nganjuk, Duri Riau, Langsa Aceh, Lampung, Sampit, Serang Banten, Bangkalan Madura, Randublatung Blora, Padang, Ambon, Rantauprapat, Lhokseumawe, Bumi Ayu, Solok Sumbar, Bau Bau Sultra, Kuningan, Pariaman Sumbar, Karimun Kepri, Rokan Hulu Riau, Majalengka, Kuningan, Ketapang Kalimantan, Bengkalis, Pasaman Barat, Manado, Purbalingga, Kandangan Kalimantan, Pacitan, Dumai, Pati, Belitung, Ternate, Cikampek, Situbondo, Pasuruan, Kabupaten Polman, Mojokerto, Bondowoso, Tuban, Besuki, Pandaan, dan Jambi,
Secara aklamasi Harley Prayudha (FDR 001) diberi amanah untuk menjadi Presiden dan wakilnya adalah Herru Soleh (FDR 002). Namun kini Harley dan Herru yang tadinya berdomisili sama-sama di Kota Surabaya, kembali ke kampung halamannya masing-masing, Harley ke Bandung dan Herru ke Bogor namun tetap memimpin FDR INDONESIA.
Kelembagaan FDR INDONESIA ini dikelola dengan hati nurani para praktisi radio di Indonesia untuk terus menghidupkan nafas keradioan. Maka tidak mengherankan memunculkan taliban-taliban radio sebagai penggerak hidupnya FDR INDONESIA diantaranya adalah Aldie Bin Ama, Pangkalan Bun Kalimantan (FDR 150), Roy Anwar, Pontianak (FDR 564), Mamik Yuniantri, Banyuwangi (FDR 461)), Ning Dyah, Surabaya (FDR 030) Ellen Pratiwi, Surabaya (FDR 353), Ricky Samuel, Surabaya (FDR 090), Ian Manan, Surabaya (FDR 624) Yoyong Burhanuddin,Surabaya (FDR 245), Boy Hendri, Surabaya (FDR 408), Joko Suryono, Lubuklinggau (FDR 207), Rudy Setiyono, Lubuklinggau (FDR 098), Andi, Banjarmasin (FDR 305), Venusia, Banjarmasin (FDR 257), Riza Solichin, Bandung (FDR 160), Cay Cahya, Bandung (FDR 545), Dadan Kusnendar, Bandung (FDR 113), Ian Taryan, Semarang (FDR 012), Agung Prasetya, Semarang (FDR 004), Dendi Ganda, Semarang (FDR 277) Joko Krisna, Semarang (FDR 278), Boma Ardian, Yogyakarta (FDR 221), Ronny Arya, Yogyakarta (FDR 303), Bonny Prasetya, Yogyakarta (FDR 003)), Jojo Prasetyo, Tarakan (FDR 059), Afiq Ikhsan,Tarakan (FDR 018), Joko Sihono, Balikpapan (FDR 605), Pati Perkasa, Jakarta (FDR 029) Slamet Mulyadi, Jakarta (FDR 112), Ricky Brataatmadja, Jakarta (FDR 071), Dendan Ronggo Astono, Bali (FDR 060), Theny Panie, Kupang (FDR 537), Andhika, Padang (FDR 544), Awan Albana, Palembang (FDR 027) Bisma Nugraha, Palembang (FDR 067), Eddy Surjanto, Jayapura (FDR 517), Mervin Silitonga, Pematangsiantar (FDR 346), Ismet Bustaman, Duri Riau, (FDR 431)), Susi Heryanti, Pekanbaru (FDR 658), Agus P. Suprapto, Bengkulu (FDR 348), Harry Zhily, Ponorogo (FDR 510), Ariyanto, Solo (FDR 149), Harry Darmawan, Bogor (FDR 300), Irchfan Delonix, Bogor (FDR 020), Dhani Wahab, Bekasi (FDR 370), Wien Aulia, Nganjuk (FDR 365), Zaky Paqih, Kupang, (FDR 096), Rendy Rinaldi, Lampung (FDR 512) dan lain-lain.
Masukan dari beberapa pihak bahwa FDR INDONESIA sebaiknya dijadikan organisasi resmi seperti layaknya organisasi berbadan hukum yang memiliki AD/ART, namun para pendiri lebih memilih FDR INDONESIA dibiarkan berjalan sesuai "Hati Nurani" anggotanya. Fakta membuktikan sampai saat ini tetap ajeg berdiri menyebarkan semangat profesional dan berazaskan kekeluargaan.
Beberapa Tokoh Senior Keradioaan dan Pengamat Radio di Indonesia pernah menjadi pembicara di forum ini seperti: Errol Jonathans (FDR 570), Frans Padak (FDR 560), Hario Wijanarko (FDR 051), Denny J. Sompie FDR 273), Jeffrey ST (FDR 170), Agus F. Sutama (FDR 105), Djoko W. Tjahyo, (FDR 500), Ronny Mustamu (FDR 016), Hemat. Dwi Nuryanto (FDR 394), Indra Bigwanto (FDR 094), Candra Novriady (FDR 200), Andy Rustam Munaf (FDR 541), Nonos Suparno (FDR 598), Boy Hendri (FDR 408), Riza Solichin (FDR 160), Herry Koko (FDR 232), Yoyong Buhanuddin (FDR 245), Lucy Laksita (FDR 068), Pati Perkasa (FDR 029), Bambang Parikesit (FDR 572), Verry Firmansyah Suherlan (FDR 445), Retno Dewanti (FDR 591), Potan Rambe (FDR 571), Pedet Wijaya (FDR 608), Jack (FDR 554), Dll.
Dari kegiatan diskusi melalui internet baik melalui milis yahoo group maupun page Facebook, setiap tahun anggota berkumpul untuk mendiskusikan lebih dalam tentang isyu-isyu radio dengan nama kegiatannya adalah FDR SUMMIT. Dalam menentukan kota penyelenggaraan setiap anggota berhak memilih tempat dan kesiapan kota penyelenggara, setelah ditemukan nama-nama kota terpilih seluruh anggota akan melakukan voting, Kota dengan suara pemilih terbanyak adalah pemenangnya dirangkai dengan penunjukkan langsung anggota yang bertanggung jawab dalam mempersiapkan dan penyelenggaraan kegiatan FDR SUMMIT tersebut.
Kegiatan FDR SUMMIT pertama kali diselenggarakan di Kota Yogyakarta (2008) dengan penanggungjawab kegiatan Bonny Prasetya (FDR 003), kemudian kedua di Surabaya (2009) penanggungjawab Ronny Mustamu (FDR 016), dilanjutkan ketiga di Kota Bandung (2010) penangungjawabnya Harley Prayudha (FDR 001), dan keempat di Bogor (2011) penanggungjawabnya Herru Soleh (FDR 002), Sedangkan yang Kelima di selenggarakan di Kota Semarang (2012) dengan penanggungjawab Ian Taryan (FDR 012), keenam di Solo (2013) penanggung jawab Ariyanto (FDR 149), kemudian yang ketujuh di Malang (2014) penanggungjawab Ellen Pratiwi (FDR 353), serta kedelapan terselenggara di Denpasar Bali (2015) penanggungjawabnya adalah Dendan R Astono (FDR 060), dan kesembilan akan diselenggarakan di Pekanbaru (2016) dengan penanggungjawab kegiatan adalah Ismet Bustaman (FDR 431).
Keunikan dari forum ini seluruh pembiayaan kegiatan adalah swadaya, anggota dan pembicara mendanai sendiri untuk hadir di forum ini (Akomodasi, Konsumsi, Dan Transportasi). Namun terkadang menerima donasi dari pihak sponsor yang berpartisipasi dalam kegiatan FDR SUMMIT dan berdampak pada biaya yang dikeluarkan oleh anggota untuk hadir menjadi lebih murah terutama untuk akomodasi dan konsumsi. Kami akan terus tanpa lelah mendorong iklim penyiaran radio yang kondusif dengan mendorong profesionalisme para praktisi radio di Indonesia untuk menjadi lebih baik serta memberikan kontribusi meningkatkan kompetensi khususnya aspek pengetahuan.melalui informasi perkembangan industri radio terkini.
II. CATATAN SINGKAT OBROLAN FDR INDONESIA
Diawal terbentuknya FDR INDONESIA milis anggota masih bicara yang ringan-ringan saja hanya berisi perkenalan dan kangen-kangenan karena milis yahoo group FDR INDONESIA dijadikan sarana komunikasi untuk mereka yang sudah lama tidak berkomunikasi dan tidak bertemu di alam nyata namun akhirnya berjumpa di alam maya pada milis ini, kemudian melalui milis inilah tidak disadari terjadi ikatan emosi jiwa keradioan. Gurauan menghibur sangat kentara dalam obrolannya terutama bagi mereka yang sudah kenal lama, ada juga anggota yang memperkenalkan diri dan berkenalan satu dengan lainnya. Kalimat-kalimat standar yang terukir seperti : “Iya, long time no see”, apalagi praktisi yang berasal dari sunda, dengan kalimat khasnya “Sono pisan euy...lamun ka Jakarta telepon urang nya !!!” ada juga yang memperkenalkan diri “ Saya...sekarang Alhamdulillah masih dipercaya jadi Program Director Radio...” , “Salam kenal dulu sebelumnya, kenalin nama saya...saya bekerja sebagai reporter dan berkutat di dunia berita”, yang lainnya ada juga yang mengungkapkan rasa senangnya “ Seneng banget deh bisa diajak gabung di milis yang isinya orang-orang radio, perkenalkan nama saya....”. Memang sangat terasa sekali bagi orang-orang yang pernah dan sedang bekerja di radio hubungan emosi antara manusia dengan radio sangat erat sekali sering dibaratkan radio itu "narkoba", "nyandu sekali" walaupun sudah bekerja dimanapun radio tetap melekat dalam darahnya. Jadi mereka itu golongan darahnya sudah “R”...RADIO !!!
II.1. OBROLAN HARLEY DAN HERRU
Radio memang medium yang unik dan mudah menyesuaikan seiring perkembangan teknologi dan komunikasi. Pertumbuhannya pun sangat signifikan jika dilihat dari jumlahnya radio yang tersebar di Indonesia ini, sehingga tidak heran akan menarik jika dibicarakan potret perkembangannya. Dua pendiri Harley Prayudha dan Herru Soleh di awal berjalannya milis diskusi FDR INDONESIA sempat berbincang-bincang di waktu senggang bekerja yang pada saat itu Harley di Delta FM Surabaya dan Herru di Radio Suara Surabaya. Perbincangan diawali oleh Harley Prayudha (FDR 001): dengan kondisi iklan radio yang secara nasional terus menurun, apakah Industri radio sekarang ini sedang sekarat ? atau justru malah sebaliknya, buktinya banyak pebisnis radio baru yang mengajukan Izin, atau radio kembali kezaman dulu, bahwa berdirinya station radio hanya untuk ajang hobby ngga perlu iklan tapi operasional radio jalan terus yang penting bisa "On-Air" untuk kepentingan lain. Herru Soleh (FDR 002): Terus terang, saya prihatin dengan data yang sering direlease bahwa potensi pendengar radio turun. Jadi kalau catatan ini kita coba "cross" dengan fakta-fatka dilapangan ternyata memang mendekati benar, banyak radio (industri yang tidak membaca perubahan pasar) sehingga penyakit rutinitas dan superior di radio kambuh. Televisi mungkin penyebab utama, tapi pembukaan Mall baru juga memiliki kontribusi yang lumayan untuk orang tidak mendengarkan radio (coba lihat kalau pukul 10 pagi Mall buka s/d 10 Malam) maka sekian persen orang pada ngadem di Mall, apalagi sabtu & minggu + mall bikin event dengan mendatangkan artis !!!. menurut saya kesalahan dari kita sendiri yang konon mengklaim industriawan radio, yang tidak pernah komit terhadap kulitas produk, ditambah dengan banting harga iklan (ini mungkin bisa dinikmati sesaat) tapi kalau dengan banting iklan radio bisa bertahan lebih dari 3 tahun itu hebat. Nah ini kondisi yang saya lihat, menariknya para RADIO-ER tidak pernah mencoba bersatu agar menarik perhatian pengguna media lain atau radio tidak pernah dikomunikasikan secara "Integrated" untuk melawan persaingan kompetisi media. Ada istilah yang lagi ngetrend di Advertising, 1st Screen, 2nd Screen dan sekarang 3th Screen, yang sedang mengancam, hampir seluruh media. Harley Prayudha (FDR 001): Kalau memang Televisi penyebabnya yang utama, boleh jadi Industri radio memang harus bersatu, terutama para pemilik-pemilik radio kita perlu belajar dari bagian sejarah radio di Negerinya Obama. Saat Industri Radio terguncang oleh kehadiran Televisi mereka bekerja keras mencari solusi kreatif untuk tetap mempertahankan eksistensi radio. Namun bagi kita ini pekerjaan rumah yang besar dan banyak pesimisnya jika harus bepikir lebih dalam. Banyak faktor "X" yang menghambat kemajuan Industri radio termasuk pelaku-pelakunya. Entahlah apakah mereka tetap menganut pada paradigma lama atau bagaimana ? Untuk menyatukan orang-orang radio memang sulit, namun tidak ada salahnya kita berupaya memulai dari yang kecil seperti diskusi ini. Jangankan kita berbicara industri radio secara nasional, di daerahpun paradigma berpikir orang radio masih banyak yang berbeda satu dengan yang lain. Kita memang tidak cukup hanya berdzikir setiap malam untuk kemajuan industri radio di Indonesia ini, kita mungkin memerlukan pembisik-pembisik yang tepat agar mereka memahami betul bahwa Industri radio saat ini perlu penanganan dengan paradigma baru bukan hanya kepentingan perseorangan atau kelompok semata. Menurut saya berdirinya Mall mengganggu itu hanya baru asumsi. Mall tidak terlalu berpengaruh karena berdirinya Mall seirama pula dengan pertumbuhan penduduk suatu daerah yang peningkatannya signifikan dengan perubahan gaya hidup. Ceruk khalayak masih memungkinkan untuk dikreatifkan, tapi kalau Televisi menurut saya memang kompetitor media yang perlu kita perhitungan, inilah problem besar yang harus kita hadapi bersama sebagai insan radio, senang sekali kalau kita mau bersatu. Tapi masalahnya, mau tidak ya pemilik radio bersatu ?
II.2. SALES versus PROGRAM
Selang beberapa waktu salah satu anggota FDR INDONESIA menulis topik diskusi di milis dengan men-share-kan pengalamannya tentang SALES versus PROGRAM. Disebutkan dalam tulisannya Novi Wijaya (FDR 076) pernah bertemu seorang klien dari perusahaan besar di kawasan sudirman Jakarta. Klien tersebut mengeluh, kenapa ya sulit sekali mengedukasi masyarakat sementara mereka sendiri tidak memiliki dana banyak untuk berpromosi (kebetulan kaitannya dengan bidang keuangan). Ketika ditanya, ke media mana saja mereka berpromosi/campaign, jawabnya ada di cetak dan radio, masih menurutnya untuk televisi memang mereka sengaja tidak pilih karena respon kurang bisa diukur.
Kemudian Novi Wijaya (FDR 076) terus mendesak dengan pertanyaan " apa selama ini kurang puas dengan hasil yang dicapai ?" ternyata jawabannya iya. Klien sebenarnya lebih suka pasang di radio karena kecepatan respon yang mereka terima. Namun terkadang radio tidak bisa sedetil media cetak dalam memaparkan permasalahan, mengedukasi, dan materi yang ingin disampaikan. Menurut klien tersebut "radio itu jarang sekali datang dengan solusi" tetapi seringnya datang dengan proposal yang isinya hanya anjuran untuk berpromosi melalu talkshow,spot, adlibs,insert hingga program wawancara atau reportase. Untuk perusahaan yang segmented seperti klien tersebut, tentu bukan ini yang dimau, klien sering membandingkan dengan media cetak yang selalu datang dengan isyu terbaru sesuai porsi perusahaan tersebut. Oleh karena itu untuk menjawabnya atau ide dilapangan agar sesuai dengan keinginan klien, kita harus menggunakan taktik seperti seorang dokter, biarkan pasien menumpahkan keluh kesahnya dulu, baru dikasih obat, jadi si dokter tidak salah ketika memberi saran tentang kesehatan atau dengan kata lain, si klien jadi merasa benar-benar yakin kenapa dia harus beriklan di radio.
Dari studi kasus ini kita harus menyadari dan instropeksi dengan yang ada diindustri radio pada umumnya, ketika ujung-ujungnya mau mengejar pendapatan. Kita terkadang jarang membuat gebrakan dalam mempromosikan dan "menjual" radio hingga memproduksi acara yang sifatnya customized dengan cara yang berbeda. Orang-orang seperti klien diatas masih banyak dengan.beragam perusahaan, dan mereka masih bingung bagaimana mengukur efektifitasnya ketika beriklan atau berpromosi di radio. Coba pelajari di media cetak dan televisi mereka lebih fleksibel menyesuaikan, kita jangan hanya melihat dari sisi persaingan antar radio saja, akan tetapi para praktisi radio di Indonesia harus melihat ini sebagai "big industri" sehingga ujung-ujungnya peran radio semakin kuat dan diperhitungkan.
Ditambahkan juga beberapa hal penting untuk menjual program seperti yang disampaikan Kartika Widyastuti (FDR 169) : 1). Establish a clear and UNIQUE difference between you and your competition 2). Craft a messages from CUSTOMER’S point of view, 3). Position your staff as an experts and credible ADVISORS, 4). Repetition builds reputation, 5). Building trust takes time, 6). Be consistent with your message, 7).Your sales tools don’t have to be HARD-SELL, 8). Customers want you to deliver value OVER price.
Sedangkan Benny Feryadi (FDR 032) meninjau dari sudut lain bahwa radio bisa menjadi media promosi yang tepat untuk sebuah produk yang segmented, asalkan didukung dengan kemampuan yang baik dalam mengolah informasi dan menyajikannya dalam sebuah kemasan yang menarik. Jadi jangan khawatir untuk beriklan di radio, karena hanya sebagian radio yang merasa kesulitan. Oleh karena itu radio harus tetap bersatu saling berbagi ilmu dan informasi untuk meningkatkan terus kemampuannya agar produsen atau pengiklan menjadi bertambah yakin untuk beriklan di radio. Lebih lanjut Benny Feryadi (FDR 032) mengungkapkan bahwa Untuk klien yang memiliki produk yang sangat "segmented", media promosi yang tepat adalah televisi, karena melalui penayangan produknya di televisi, maka konsumen / pemirsa televisi dapat dengan langsung mengetahui apa sih produk itu, apasih keunggulannya, dan dimana sih mendapatkannya, dalam hal ini bagaimana kita mengemasnya agar menjadi lebih mudah dan membuat para konsumen untuk mencarinya. Apalagi promosinya dikemas dalam sebuah promo khusus sehingga membuat konsumen merasa perlu untuk mengetahui lebih jauh tentang produk itu.
Menurut Benny Feryadi (FDR 032) produk "segmented" ini tidak bisa dipaksakan langsung ke konsumen untuk disukai, perlu strategi jitu dalam pola penyampaian pembelajaran kepada kensumennya. Jika memang "budget" untuk berpromosi di televisi atau media cetak, tidak mencukupi memang "Radio" menjadi pilihan akhir yang dijadikan media promosi, namun untuk sebagian radio, dalam memenuhi kebutuhan promosi produk- produk “segmented” bukan sebuah hal yang mudah. Kesulitan di sebagian radio untuk produk-produk yang segmented, adalah terletak pada segi kreatif dan isi yang akan di sampaikan, untuk mengatasinya, dibutuhkan sebuah tim kreatif di radio yang piawai dalam penyusunan kata-kata yang dikemas sedemikan rupa, sehingga kalimat yang disampaikan selalu gampang untuk diingat oleh pendengar, jadi ketika kalimat tersebut terdengar maka otomatis sipendengar akan langsung teringat akan produk tersebut. Hal ini harus juga didukung dengan tekhnis penjadwalan (Periode Siar) dan frekuensi penayangannya. Penempatan jam tayang dan frekuensi siar yang tepat, akan membuat produk tersbut cepat di kenal oleh pendengar. Catatan akhir dalam diskusi ini Benny Feryadi (FDR 032) menyebutkan antara kreatif dan penjadwalan (Periode Siar) serta frekuensi penyiarannya, harus di atur sedemikan rupa sehingga ke tiganya dapat saling mendukung dalam proses penyampain informasi dari produk yang "segmented" kepada pendengarnya. Jika salah satu saja tidak dapat memenuhi yang lainnya, maka hasil yang diharapkan akan sulit tercapai.
Lain halnya yang terjadi didaerah, kisahnya disampaikan oleh Debby Suryana (FDR 005) dia selalu datang ke klien dengan fungsi layaknya seorang konsultan promosi dan ini menjadi andalan untuk berjualan radio. Namun menurutnya klien-klien di daerah belum banyak yang paham berpromosi di radio oleh karena itu kita harus rajin menjelaskan pentingnya promosi di radio. Persoalan lain yang kadang membuat patah semangat kebanyakan klien di daerah bukanlah pembuat keputusan untuk mengeluarkan dana promosi, mereka harus menjelaskan kembali kepada pemilik perusahaan atau pimpinan kantor pusat yang berada di Jakarta atau daerah lain. Jadi seorang account executive atau AE di radio daerah memerlukan energi ekstra untuk bisa meyakinkan pemasang iklan berpromosi di radionya.
II.3. MEMBUAT PROGRAM RADIO YANG NENDANG
Dalam kesempatan lain di milis FDR INDONESIA sempat didiskusikan tentang bagaimana membuat program radio, Tony Thamrin (FDR 046) bertanya “apa coba ramuannya” jika stasiun radio mau membuat program radio yang “nendang” ? Apa hanya cukup referensi "Needs & Wants"-nya Audiens saja ? Apa perlu survey dulu cari data? atau cukup by feeling creative team ? Program radio yang sukses itu apa ukurannnya ? hanya ratingnya saja yang bagus atau laku dijual ? atau semuanya perlu ? Menurut Tony Thamrin (FDR 046) sebenarnya semuanya perlu, karena sebuah program itu hasil sinergi dari unsur-unsur yang disampaikan tadi. Sebagai praktisi radio kita harus membuat program untuk menjadi "trendsetter", pendengar tinggal di "drive" saja. Di "educated" dengan sesuatu yang tidak seragam. "Feeling creative team" juga dibutuhkan. Tony Thamrin (FDR 046) juga menyadari bahwa sekarang ini stasiun radio mentuhankan rating. Radio "aneh" saja bisa menjadi nomer satu. Apa iya untuk menjadi nomer satu kita harus "mengkampungkan" diri. Lantas jika semuanya menggunakan formula yang sama, bukannya malah terjadi keseragaman?. Lebih lanjut Tony Thamrin (FDR 046) juga mengungkapkan meskipun rating sekarang banyak yang meragukan keabsahannya, tapi klien-klien tutup mata dengan tetap berpatokan dengan rating, dan hal ini menjadi dilema dalam siaran radio khususnya di kota-kota besar yang diteliti oleh Nielsen. Dalam tulisannya Tony Thamrin (FDR 046) juga mengungkapkan bahwa program siaran perlu persiapan yang baik, tetap mengutamakan konsep dan isi siaran alias konten. Dan tidak kalah pentingnya dalam program siaran yang nendang tergantung penyiarnya juga, "Man behind the gun". Penutup komentarnya Tony menulis “ Kalo kokinya enak, mau sejauh apapun letak restoran koki itu, pasti pelanggannya akan mengejar dimanapun dia berada.
Apa yang ditulis oleh Tony Thamrin (FDR 046) tentang pentingnya ramuan program disetujui oleh Ning Dyah (FDR 030). Namun Ning Dyah mempertanyakan survey seperti apa yang bisa dipercaya. Apakah hanya nanya kesini kesitu atau bagaimana? Selama ini, menurut Ning Dyah (FDR 030) program radio tetap masih terfokus pada "needs and wants" nya "audience", ditambah kreativitas. Sebagus apapun format program, apabila penyiar sebagai eksekutornya tidak bagus, menurut Ning Dyah (FDR 030) program radio tersebut hasilnya tidak bagus juga. Sampai Ning Dyah (FDR 030) mempertanyakan apa benar mencari penyiar yang bagus itu sulit ? Jika masalah membuat program yang nendang, sepertinya Ning Dyah (FDR 030) setuju dengan apa yang ditulis Tony Thamrin (FDR 046). Tapi masalah penyiar yang masih membuatnya kebingungan, Sampai Ning Dyah (FDR 030) tidak mengerti apakah benar mencari penyiar yang bagus itu sulit. Menurutnya cari penyiar yang bagus itu tidak sulit, yang sulit itu membayarnya. Ada satu kecenderungan, perusahaan kadang-kadang ‘enggan’ merekrut penyiar yang sudah bagus dengan alasan, tidak ada “bugdet.” karena sudah pasti honornya lebih tinggi dari standar yang ada. Padahal pada umumnya jika "skill" seseorang sangat baik (di bidang apa pun), maka orang itu akan dicari dengan penawaran honor yang lebih tinggi. Sedangkan di Indonesia , semakin tinggi "skill" seseorang, perusahaan semakin enggan membayar sesuai kemampuan maksimalnya. “Betul sekali, perusahaan enggan merekrut penyiar mahal“ menurut Kartika Widyastuti (FDR 169) bahwa perusahaan tidak berani mengambil resiko, penyiar itu di CV-nya, selain punya data-data kualitatif [biodata, pendidikan, pengalaman kerja] mereka juga harus punya data kuantitatif.
Pemikiran sanggahan datang dari Agung Prasetyo (FDR 004) yang mengatakan bahwa semua program radio itu "GOMBAL". Bukannya praktisi radio tidak kreatif tetapi para pemilik radio itu yang hanya bisanya membuat Statiun Radio, tetapi tidak mengerti harus berbuat apa setelah itu. Yang harus disadari: 1). Industri radio itu sudah diambang pintu kiamat (ini berdasar penganmatan di jawa tengah), 2). Proragm tidak harus selalu berbeda, buat apa membuat program rumit rumit jika ternyata dilapangan tidak ada yang mendengarkan 3). Jangan malu untuk mengikuti "mainstream" yang sedang berlaku. (sama-sama jual bakmie, buktinya ada yang laris dan ada yang tidak) 4). Pernyataan saudara Tony Thamrin (FDR 046) bahwa "audience" tinggal di “drive” itu kapan? Kalau Radio zaman dulu mungkin iya, Agung Prasetya mencontohkan bahwa radio Prambors atau Trax yang jagoan di Jakarta, tidak ada gaungnya di Semarang, ini artinya menurut Agung “orang-orang Jakarta jangan Besar Kepala”. 5). Ke depan bisnis media itu yang kuat adalah di "content" lokalitasnya, Untuk apa membuat program jika tidak berdasarkan ukuran pendengar setempat. Agung Prasetyo (FDR 004) juga menyarankan buatlah sistem dan yakinkan bahwa ada harapan masa depan yang cerah pada setiap personil radio. Aan Senas (FDR 014) menambahkan pula dalam diskusi ini bahwa membuat program yang nendang itu memiliki sifat yang cukup subyektif karena dibilang nendang kebutuhan pendengar masing-masing radio itu berbeda-beda. ada yang suka ada yang gak suka jadi sangat relatif membuat program yang nendang. Namun Aan menjelaskan bahwa untuk membuat banyak pendengar dan banyak iklan tentunya harus diserasikan dengan komposisi pendengar dan kebutuhan pendengar itu sendiri sekaligus "segment" dari radio yang bersangkutan. Jika ada satu radio memiliki program yang nendang dan sukses, jika kita langsung menirunya belum tentu sesukses radio yang kita tiru. Tetaplah terus mencari inovasi program secara berkelanjutan, karena tidak ada aturan yang pasti program itu sukses sebagaimana yang kita harapkan. Program radio itu spekulatif.
II. 4. KONTRIBUSI RADIO MELAHIRKAN “THE REAL BROADCASTER"
Dalam kesempatan lain Harley Prayudha (FDR 001) menggulirkan topik diskusi persoalan-persoalan SDM penyiaran radio, pernyataan pertama yang muncul dari Pati Perkasa (FDR 029) : “ternyata sekali kerja di RADIO. memang tidak ada duanya. Yang penting sekarang terus belajar-dan terus belajar sambil mengembangkan ilmu yang didapat sebelumnya, setuju sama orang yang pernah bilang sekali masuk Radio, terus berkarya” pernyataan ini disambut oleh Kartika Widyastuti (FDR 169) dengan candanya yang khas mengatakan “ Naaah… ini dia nih, "potential candidate for the real radio broadcaster", Ngakunya dulu bosen dan gak maju- maju kerja di radio… keluar dari Masima… eeeeeh masuknya keradio lagiiii… hahahahaha…Go Pati Goo…. The sky IS NOT even your limit, bro !! “ dijawab lagi oleh Pati Perkasa (FDR 029): " Wah kalo Mbak Tika yang ngasih masukan padat, singkat dan jelas...tapi langsung mengena"
Lain hal nya dengan komentar dari Wahid Sangun (FDR 216) yang mengatakan bahwa praktisi radio di daerah, khususnya daerah Karawang yang menurut letak kotanya tidak terlalu jauh dari ibukota pengelolaan manajemen radio masih tergolong nanggung alias tidak total sehingga hasil yang didapat pun tidak sedahsyat yang diinginkan. Selain itu pemilik radionya nya kurang berani spekulasi dan hanya bermain "safe", jadi sebagai seorang praktisi radio hanya mempunyai cita-cita yang tidak dapat dilaksanakan secara maksimal atau dengan kata lain inovasi dan improvisasi praktisi radio tidak akan berjalan tanpa dukungan maksimal dari Pemilik Radio. Wahid Sangun (FDR 216) mengingatkan seharusnya bukan hanya workshop atau training saja untuk meningkatkan SDM radionya tap perlu juga pemilik radio di training agar dapatmemahami bahwa usaha radio itu butuh pengelolaan yang profesional.
Menarik juga masalah yang dilontarkan moderator ujar Nurul Purnamasari (FDR 026). Nurul menyinggung masalah kemajuan yang signifikan, pasti dinginkan oleh siapapun orangnya dan apapun radionya. Tidak hanya menambah pendengar dan pendapatan saja. Permasalahannya, ketika pemilik radio dan tim kerja sudah setuju dengan rencana kerja yang akan diluncurkan, tetapi pemahaman di lapangan sepertinya tidak maksimal. Hal ini juga yang akan menjadi permasalahan, bagaimana visi dan misi radio tersebut di mengerti oleh semua yang ada di radio tersebut untuk mencapai tujuan bersama.
Ditambahkan juga oleh Nicko Zamzani (FDR 119) bahwa radio daerah akan sangat banyak dihadapkan pada kenyataan yang tidak siap dengan SDM-nya, baik itu dari pemilik sampai pekerja yang paling bawah. Banyak diantaranya ketidaksiapan itu ditunjang oleh kurang siapnya modal yang akan dipertaruhkan oleh pemilik kemudian SDM yang tidak memadai dan masih banyak yang memandang bahwa kerja di "RADIO adalah HOBBY" . Namun demikian Nicko Zamzani (FDR 119) tetap optimis bahwa usaha RADIO masih berprospek cerah dan radio daerah masih bisa berkompetesi jika dikelola dengan benar.
Sedangkan Agung Prasetyo (FDR 004) berceloteh mempertanyakan apakah benar para kreator radio justru mati kreativitasnya, karena kebijakan manajemen radionya, Apa bukan yang terjadi justru sebaliknya? Banyak juga, karena radionya terlalu mengikuti sang programer dengan bikin acara macam-macam tapi tidak melihat perkembangan dan trend pasar, yang terjadi malah si pemilik radio setiap bulan nombok untuk biaya operasionalnya. Lebih lanjut Agung Prasetyo (FDR 004) bercerita: " Dulu saya masih ingat ketika masih kuliah dan nyambi jadi penyiar. dan sampai suatu peristiwa dimana saya merasa ide-ide saya sepertinya tidak diperhatikan oleh manajemen, saya merasa frustasi, tapi kemudian ada seorang kawan yang mengingatkan : Gung, mari kita letakkan paradigma pikir kita pada posisi pemilik radio". Saat kita bergabung dengan sebuah station radio, itu yang harus kita pertimbangkan terlebih dahulu. Mau tetap idealis atau kompromi sama pemilik radio ? tidak ada yang salah dari dua pilihan ini, kita juga harus menghargai orang yang sudah berinvestasi dengan nominal yang tidak sedikit dalam pendirian radio, dan tidak salah juga jika pemilik radio berharap agar cepat modalnya kembali dan menguntungkan. Diakhir pernyataannya Agung Prasetyo (FDR 004) menulis: "Maju terus orang radio, jangan biarkan ruang radio ini hampa tanpa celoteh nakalmu".
Apa yang diungkapkan Agung Prasetyo (FDR 004) dilengkapi juga oleh Bonny Prasetya (FDR 003) yang mengatakan: Saya sepakat dengan pendapat mas Agung, tidak semua permasalahan berasal dari pemilik radio, jangan-jangan malah dari programmer sendiri yang tidak bisa membaca pasar? Bukankah kita di rekrut untuk menjadikan radio itu banyak di dengar dan iklannya bertambah? Apa bisa kita menghasilkan pendengar banyak PLUS menghasilkan uang dari hasil jualan program tersebut ? Itu yang mungkin jadi pertanyaan pemilik radio ketika harus mengeluarkan uang yang jumlahnya tidak sedikit. Kecuali kalau praktisi radio bisa membuktikan! bahwa uang yang dikeluarkan oleh pemilik radio bisa mendongkrak pendapatan dan meraih pendengar sebanyak-banyaknya. Jika kita bisa membuktikan raihan tersebut maka keyakinan saya pemilik radio akan berpihak pada praktisi radio-nya. Mari kita buktikan, bahwa dunia radio bukan hanya sekedar HOBBY !!!.
Tanggapan penyataan Agung Prasetyo (FDR 004) dan Bonny Prasetya (FDR 003) dikomentari Kartika Widyastuti (FDR 169) : ‘membela’ pemilik radio, saya pikir itu pandangan subyektif Mas Agung dan Mas Bonny, seharusnya pandangannya adalah realistis yaitu realistis dengan membuat analisa SWOT yang benar. Radio yang tidak pernah membuat SWOT dan Rencana Kerja, itulah yang saya pikir adalah ‘radio hobby’…If you want to be professionals and run a real business, then act like one. Either way your radio IS [your owner’s] hobby.
II.5. GOOD ANNOUNCER
Menurut Ning Dyah (FDR 030) Sebenarnya praktisi radio punya, kontribusi atas minimnya penyiar baik dan berkualitas. Dahulu betapa sulitnya menembus dunia radio jika tidak benar-benar berbakat dan tidak "microphonic sound". Dengan banyaknya radio baru yang seringkali membutuhkan SDM terutama penyiar dalam waktu cepat membuat seleksi pun menjadi longgar. Belum lagi jika ada tuntutan dari perusahaan agar bisa mendapatkan SDM dengan cepat plus harga murah. Boleh-boleh saja ada kebijakan seperti itu, Namun sekarang bagaimana men-training calon penyiar tersebut dengan baik untuk menghasilkan penyiar yang baik dan berkualitas. Lebih lanjut diungkapkan Ning Dyah (FDR 030) bahwa dari awal penyiar harus sudah ditanamkan bahwa seorang penyiar harus bertanggung jawab dengan profesinya, Dilengkapi Niken Puspitawangi (FDR 109) "announcer" yang baik adalah yang bisa "memadukan" antara dua tuntutan yaitu. pertama tuntutan pendengar, bisa disukai sebagian besar pendengar dan kedua adalah tuntutan manajemen, karena salah satu tuntutan menejemen kepada penyiar adalah meraih sebanyak-banyaknya pendengar,
Kartika Widyastuti (FDR 169) menjelaskan pula bahwa good announcer equals: 1) Great SMS responds, 2).Great [Radio Advisor] ratings, dan 3).Great revenue. Namun yang membingungkan adalah jika SMS banyak [naik], tapi Radio Advisor tidak bagus [turun]. Boy Hamidy (FDR 022) menambahkan satu Great lagi yaitu " Great (content) Value" Maksudnya bagaimana sang penyiar juga bisa "delivery" nilai yang baik untuk kemanusiaan. Dengan candanya yang khas Agung Prasetyo (FDR 004) menyetujui pendapatnya Kartika Widyastuti (FDR 169), Agung mengatakan: buat saya penyiar yang baik adalah yang mau manut dan merasa dirinya "harus" selalu belajar" karena matinya penyiar adalah ketika ia merasa pintar.karena tidak ada lagi keinginan untuk mengeksplorasi kompetensi dan potensi pada dirinya. Sementara Pati Perkasa (FDR 029) mengusulkan satu unsur lagi dalam kriteria Penyiar yang "Good" yaitu "Great Attitude". Sikap itu memang tuntutan untuk semua bagian di radio termasuk penyiar..Akhirnya tentang "good announcer" ini intinya adalah di "personality". Dan kepribadian ini berlaku bukan hanya untuk penyiar, tapi juga untuk program radio secara keseluruhan. Memang good announcer agak sulit mengukurnya tanpa indikator namun persoalan ini, Kartika Widyastuti (FDR 169) menjelaskan bahwa dengan beberapa pernyataan sebagai berikut: 1). Personality does not equal talk. Sometimes it's what you DON’T say that's important, 2). Personality might mean warmth, humanity and believability. The laugh, the comments could make you sound human and believable, 3).Personality demands concentration and preparation. [write, edit, re-write, get some feedback… or leave it out!], 4). Personality means knowing when to be “on” and when and how to get “off”. [capek kaliii denger orang ngomoooongg mulu’], 5)Personality in radio means never losing concern for the audience. Who are they? What do they want? What are their needs? You RELATING to them, is what it’s all about, 6).Personality means knowing YOURSELF. Consistency is a major element of projecting personality. [maksudnya jangan moody]

II.6.  DISKUSI POTENSI IKLAN RADIO
Sebuah diskusi menarik yang sempat muncul di milis FDR INDONESIA. Berawal dari sebuah pernyataan untuk direnungkan oleh praktisi radio di Indonesia. Hemat Dwi Nuryanto (FDR 394) melontarkan overview ekonomi industri radio. Menurut Zenith Optimedia, Pada Tahun 2009 Belanja Iklan Radio Global (Radex Global) Sebesar $ 39 B, Sedangkan Total Belanja Iklan di Media Global (Adex Global) Mencapai $ 504 B. Menurut RAB, Pada Tahun 2009 Belanja Iklan Radio di US (Radex di US) Tahun 2009 Sebesar $ 16 B, Sedangkan Menurut AC Nielsen Total Belanja Iklan di Media US (Adex di US) Mencapai $ 117 B. Menurut P3I, Nielsen, dan PRSSNI, Pada Tahun 2009 Belanja Iklan Radio di Indonesia Sebesar Rp 630 M, Sedangkan Total Belanja Iklan di Media Indonesia Mencapai Rp 48,5 T. Apabila dilakukan perbandingan: Radex/Adex di Indonesia = 1,3%, Radex/Adex di US = 13% = 10 kali Radex/Adex di Indonesia, Radex/Adex Global = 7,8% = 6 kali Radex/Adex di Indonesia. Remark : Jumlah Penduduk Indonesia sekitar 237 Juta (Dengan Sekitar 2.000 Radio Swasta) dan Penduduk US Sekitar 310 Juta (Terdapat Sekitar 10.000 Radio Swasta). Bila saja Radex/Adex di Indonesia setara dengan Rata-Rata Dunia (Tidak Perlu Sebagus di US) Maka Berpeluang Terjadi. Belanja Iklan Radio di Indonesia Bisa Mencapai Rp 3,6 T, Gaji Crew Radio Indonesia Bisa Mencapai 3 hingga 6 Kali Yang di terima saat ini, Keuntungan Operasional Radio Indonesia Bisa Mencapai 5 hingga 10 Kali Saat ini. Pertanyaan Bersama: Apabila Hanya Bermimpi Untuk Mencapai Pada Suatu Tingkatan yang Setara Dengan Negara-Negara lain, Terlalu Mulukkah Impian Kita ? Bagaimana Kita Memperkirakan Masa Depan Kita dan Industri Kita ?.

Pernyataan diatas didalamkan lagi dengan pertanyaan  (FDR 001) menurut Mas Hemat data tersebut apakah akan sangat signifikan pengaruhnya terhadap industri radio di Indonesia ? dan bagaimana sebaiknya pelaku industri radio untuk menangkap peluang-peluang emas dengan perubahan-perubahan yang terjadi. Jadi apakah dengan kondisi tersebut peluang radio untuk tetap hidup menjadi besar (optimistik) ?  padahal banyak pengamat radio sudah berada diambang HIDUP ATAU MATI ?  Hemat Dwi Nuryanto (FDR 394) menambahkan pendapatnya bahwa ditengah pesimisme para manajer marketing radio untuk dapat mengejar pertumbuhan penjualan diatas 10% pertahun, sepertinya mengejar pertumbuhan pendapatan 600% dalam lima tahun kedepan (agar menuju setara dengan rata-rata negara-negara di dunia) sesuatu yang muskil/sulit. Namun dengan berbagai bukti, misal anak-anak bangsa kita terbukti cerdas-cerdas diantara bangsa-bangsa lain karena hampir selalu menggondol medali-medali emas dalam berbagai kontes adu cerdas dunia, mestinya bila hanya untuk bisa sejajar dengan bangsa-bangsa lain seharusnya bukanlah hal tidak mungkin. Yang diperlukan cukup 'thinking ou of the box', melakukan terobosan (inovasi) untuk membentuk masa depan industri radio kita menjadi seperti yang kita inginkan dengan cara berbeda (tidak seperti yg dilalui selama ini). 

Menurut Alan C Kay (sebuah ungkapan terkenal dari seorang pakar rekayasa software yg saya ketahui via halaman Facebook seorang penyiar radio dan kemudian saya validasi via Wikipedia): "Cara terbaik Memprediksi Masa Depan Adalah Dengan Menciptakannya" dan menurut pendapat saya demikian pula dengan masa depan industri radio kita. Mencapai 600% peningkatan pendapatan dalam lima tahun kedepan harus menjadi target yang realistis untuk dijangkau !
Sangat banyak alasan untuk optimis dengan masa depan industri radio, pilihannya bukan HIDUP (tapi susah) atau MATI, namun, BERUBAH (menjadi cerah) atau MATI . Dikomentari  Priyo Basuki (FDR 115) terkadang kita gamang harus mulai dari mana tapi menurutnya bahwa bisa dimulai dari mana saja yang kita bisa. Perjuangan butuh kreativitas, kekompakan, keuletan dan banyak kesabaran. Mungkin gambaran radio di indonesia  sama dengan gambaran rakyat indonesia, mayoritas miskin dan hanya sangat sedikit yang kaya raya.

Sarjono (FDR 406) juga berkomentar Seandainya ada yang mau meneliti potensi belanja iklan radio di kota2 besar Ind tentunya pengendalian pertumbuhan radio tidak boleh hanya didasarkan pada ketersediaan kanal.  Saya berharap insan radio dapat gandeng  peneliti independen untuk analisa pertumbuhan atau kesehatan radio dengan beberapa parameter pendukung sperti belanja iklan, demografi, pendidikan dll. Hasilnya dapat dirumuskan untuk mengevaluasi kondisi radio eksisting atau mengendalikan pertumbuhan.  Jika perizinan sama dengan pengendalian maka pelayanan perizinan tidak selalu berarti memberi izin.  Komentar Sarjono (FDR 406) ini disanggah oleh Slamet Mulyadi  (FDR 112)  bahwa pengendalian pertumbuhan radio hanya mimpi saja. Alasan yang dimunculkan oleh Slamet Mulyadi  (FDR 112) karena: 1)  Filosofi pemerintah (Postel) kanal frekuensi adalah UANG. Tidak boleh ada yang nganggur. Pemerintah menyamakan posisi lembaga penyiaran radio seperti bisnis seluler. Selama  masih ada kanal, pasti akan terisi. 2).  Pemerintah (Kemenkominfo) telah menerbitkan Permen tentang Daerah Ekonomi Maju dan Daerah Ekonomi Kurang Maju, serta Permen tentang Indeks Peluang Usaha Penyiaran. Apakah kedua hal tersebut menjadi pertimbangan dalam pemberian Izin Penyiaran ?. 3)  Pemerintah telah mengeluarkan Permen No 13 Tahu 2010 tentang Revisi Kedua Kanal Frekuensi; ada penambahan kanal di daerah Kecamatan (khususnya di luar Jawa) masing-masing 3 kanal frekuensi untuk LPS, Bukan Komunitas. Apa dasar penambahan kanal tersebut ? Berapa jumlah penduduk di Kecamatan Pulau Sembilan Kabupaten Kota Baru (misalnya)?. Seberapa besar potensi ekonomi yang mayoritas pencaharian penduduknya nelayan ? 4. Kemenkominfo punya Badan Litbang; mestinya itu yang diberdayakan, dengan konsekuensi beri alokasi anggaran yang cukup. Mendirikan radio itu mahal. Tapi kalau Pemerintah tidak memperhatikan prospek radio tersebut seteleh diberi Izin, sama saja dengan menyengsarakan. Untuk itu, kita perlu mempertanyakan sebetulnya mau dibawa kemana industri penyiaran radio ini oleh Pemerintah kita. Sarjono (FDR 406) menambahkan bahwa kita harus berani bermimpi, menggunakan rezim UU Penyiaran. Kajian akademis bisa kita diskusikan dan perdebatkan dipintu masuknya KPI/D. Memang Postel akan sulit menolak permohonan bila kanal masih tersedia. Bukankah Postel hanya ketemu di ujung akhir.  Kita mesti ciptakan filter lain selain kanal, dan kalau litbang pusat belum tertarik? Kita dapat mendekati litbang yg ada di propinsi yg namanya BPPKI (ini juga unit kerja kominfo).

Lain lagi dengan Awan Albana (FDR 016) menyampaikan pendapatnya bahwa jika melihat kondisi lembaga penyiaran radio khususnya radio swasta kalau kita bicara pencapaian nilai target market dalam meraup kesempatan dari Total Belanja Iklan di Media Indonesia di setiap lini radio baik di pusat maupun didaerah tidak merata sehingga daya serap akan kesempatan yang ada nilainya tidak besar. Mengapa Belanja Iklan Radio di Indonesia daya serapnya kecil dari Total Belanja Iklan di Media Indonesia, banyak sekali "Pekerjaan Rumah" yang harus kita benahi dan kalau kita mau jujur, pegiat radio yang berada didalam lingkup "corporate" radio tersebut sangat tahu, apa yang kurang dari "radio-nya", namun persoalannya banyak yang tidak tahu harus berangkat dari mana untuk menyelesaikan persoalannya.  Saya secara pribadi sangat optimis, dengan adanya media sharing seperti ini, dimana masukan berasal dari semua infrastruktur penyiaran radio Indonesia yang "Cinta Radio" mengutip istilah Harley Prayudha (FDR 001) "Darah - R" kita akan semakin cepat menemukan solusi solusi terbaik untuk membenahi "pekerjaan rumah" di radio kita masing-masing dan tanpa disadari adanya "Sharing Ikhlas" ini menjadi modal yang sangat besar terwujudnya "Sinergi Radio Indonesia".  bersama sama kita membenahi "Industri Radio Indonesia" yang lebih baik.

*) Bersambung.....
*) Penulisnya rehat dulu...
*) Diperuntukan Bagi Yang Senang Membaca