Di dalam Program Legislasi Nasional
(Prolegnas) disebutkan bahwa RUU Penyiaran masuk dalam prioritas Prolegnas
Tahun 2016 sebagai
RUU Perubahan, namun memperhatikan substansi dan ketentuan teknis perancangan
perundang-undangan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, sudah selayaknya UU Penyiaran
diganti, mengingat sistematika, materi berubah lebih dari 50 % (lima puluh persen), serta esensinya berubah maka UU Penyiaran harus
diganti. Penggantian ini dimaksudkan untuk lebih memberikan kepastian dan
ketertiban hukum dalam penyiaran dalam rangka mengantisipasi perkembangan
teknologi di bidang penyiaran.
Namun
tidak dapat dipungkiri bahwa UU Penyiaran merupakan salah satu pedoman
bagi industri penyiaran untuk menjalankan kegiatannya dalam menyalurkan
informasi dan memberikan pelayanan umum kepada publik, namun beberapa muatan materi atau substansi yang
terkandung di dalam UU Penyiaran tersebut telah menimbulkan adanya ketidakjelasan dan
multitafsir yang berbeda-beda sehingga mengakibatkan persoalan.
DPR saat ini tengah menggodog finalisasi RUU penyiaran tersebut
dan ada yang menarik untuk dikritisi yaitu masalah “demokratisasi penyiaran”. Dalam negara yang menggunakan
sendi demokrasi maka pers dan penyiaran seharusnya bebas serta tidak memihak pada pemerintah dan penguasa. Demokratisasi penyiaran tidak memihak pada pemerintah namun
diselenggarakan atas asas demokrasi. Dominasi pemerintah dalam penyiaran
harusnya hilang. Dalam RUU Penyiaran, peran Pemerintah sangat dominan dan KPI
tak memiliki peran dalam dunia penyiaran. Ada kekhawatiran dominasi KPI akan
dihilangkan. KPI lemah karena struktur yang sentralistik antara KPI dan KPID.
Dominasi pemerintah hilang kalau KPI menguat. KPI menguat apabila penataan
struktur KPI mengacu pada sistem pemerintahan desentralisasi Pasal 18 B UUD NRI
1945.
Undang
Undang Penyiaran lahir karena tuntutan demokratisasi di bidang penyiaran.
Pemerintah di jaman orde baru memiliki kekuasaan yang sangat besar terhadap
Penyiaran. Masyarakat dibatasi haknya untuk memperoleh informasi yang layak dan
benar sesuai dengan hak asasi manusia, semua dibawah kendali Pemerintah.
Demokratisasi meletakkan tanggung jawab ada di masyarakat dari, oleh dan untuk
masyarakat maka regulator pemyiaran tidak hanya ada di tangan pemerintah tetapi
juga di tangan lembaga negara independen yang merupakan representasi dari
masyarakat untuk turut serta mengatur Penyiaran, yaitu KPI/KPID.
Hubungan KPI-KPID
Hierarki
Desentralisasi (berpotensi dicabut/ tidak difasilitasi Pemda, sentralistik
tidak sesuai dengan semangat otonomi daerah dan hakikat SSJ). Hubungan KPI dan
KPID yang bersifat hierarki sentralistik dalam RUU Penyiaran tidak sesuai dengan UU No. 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah Pasal 12 ayat (2) huruf j bahwa komunikasi dan
informatika adalah urusan pemerintahan wajib yang menjadi kewenangan Pemerintah
Daerah. Komunikasi dan informatika adalah otonomi daerah maka KPID seharusnya
diberikan kewenangan otonomi untuk menjalankan kewenangannya di daerah.
Selama ini KPID yang sangat mengerti kondisi
penyiaran di daerah, dengan sistem sentralistik akan menjauhkan akses
masyarakat lokal terhadap penyiaran akibatnya adalah sebagai berikut: lambatnya
tindak lanjut terhadap aduan masyarakat, menyebabkan pelayanan publik
terhambat, kebutuhan dan masalah di masing-masing daerah sangat spesifik, KPI
(terpusat) saja tidak akan dapat mengatasi permasalahan di masing-masing daerah
karena kapasitas SDM terbatas. Karakteristik, norma dan nilai yang hidup di
masyarakat masing-masing daerah sangat berbeda, sensitivitas itu tidak dapat
seluruhnya ditangkap dan ditangani secara cepat dan tepat oleh KPI (terPusat),
Overload beban kerja KPI (terPusat).
KPID bukan lagi representasi dari masyarakat
daerah karena dipilih oleh pusat maka konsekuensinya KPID tidak berwenang untuk
mengawasi pelaksanaan SSJ. Selain bertentangan dengan semangat otonomi daerah
hubungan sentralistik juga bertentangan dengan semangat SSJ. Lembaga penyiaran
telah berproses melakukan SJJ, menyiarkan program siaran lokal.Segala urusan
terkait SSJ yang selama ini menjadi kewenangan KPID tidak dapat ditangani
seluruhnya oleh KPI terpusat.
Hubungan sentralistik memiliki konsekuensi
segala macam sarana prasarana penunjang kinerja KPID yang selama ini
difasilitasi oleh Pemda melaui APBD dicabut, misal: fasilitas kantor, mobil
dinas, dll karena segala sarana prasarana KPID disediakan oleh APBN yang belum
tentu sesuai dengan kebutuhan daerah dan kemungkinan besar dana APBN tidak
mencukupi anggaran KPID.
RUU
Penyiaran yang diusulkan: Pasal 33 ayat (4) KPI dengan
perwakilan KPI di daerah memiliki
hubungan yang bersifat hierarkis.
Pasal 37 ayat 2 : Dalam menjalankan fungsi, tugas, dan wewenang
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (2), Pasal 35 ayat (2), dan Pasal 36
ayat (2) Perwakilan KPI di daerah diawasi oleh KPI. Dan Pasal 55 : Dalam
menjalankan fungsi, tugas, dan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (2) dan Pasal 36 ayat (2), perwakilan
KPI di daerah menyampaikan laporan kepada KPI.
Kewenangan
Perijinan sepenuhnya ada di tangan Pemerintah.
Kewenangan
di bidang “perijinan” seharusnya tetap
dimiliki oleh KPI dalam Pasal 35 ayat 1 huruf c KPI memberikan
rekomendasi kepada
Pemerintah terhadap konsep “Isi
Siaran”
yang diajukan oleh Lembaga Penyiaran dalam proses perizinan” kewenangan tersebut direduksi.
Berangkat
dari kekhawatiran DPR bahwa kewenangan ini kerap disalahgunakan oleh KPI/KPID,
sebaliknya apakah kekhawatiran tersebut terjawab dengan melimpahkan kewenangan
penataan struktur dan sistem siaran pada Menkominfo.
Berikut
potensi resikonya: potensi terjadi penyalahgunaan kewenangan hanya berpindah keKominfo, penataan sistem dan
struktur siaran hanya oleh pemerintah akan berpotensi mengesampingkan
kepentingan publik (partisipasi masyarakat dalam proses perijinan yang selama
ini difasilitasi dalam forum EDP akan hilang, pemerintah sulit melakukan affirmative action terhadap lembaga
penyiaran komunitas, akuntabilitas juga akan sulit dipantau oleh masyarakat, kewenangan
memperoleh ijin hanya ada pada satu kaki berarti potensi pembreidelan atau
pencabutan ijin sepihak oleh pemerintah juga besar (kembali ke jaman orba).
Penguatan KPID
KPID
perwakilan dari KPI Pusat di daerah. Selama ini KPID yang memahami kondisi penyiaran di daerah dan
mengerti kebutuhan masyarakat di daerah akan penyiaran. Untuk negara kepulauan
seluas Indonesia sangat mustahil urusan tersebut disentralisasi oleh pusat.
Dalam RUU Penyiaran Pasal 35 ayat (2) Pasal Perwakilan
KPI di daerah bertugas:
melakukan pemantauan Isi Siaran di daerah; mengedukasi
publik dalam hal penerimaan Isi Siaran; melakukan literasi media di daerah; menerima
keluhan masyarakat untuk
disampaikan kepada KPI; dan melaksanakan tugas-tugas lain yang diberikan oleh
KPI. Dan Pasal 36
ayat 2: Perwakilan KPI di daerah berwenang: mengawasi Isi Siaran di daerah; melakukan sosialisasi P3
dan SPS di daerah; menerima dan menyampaikan
keluhan masyarakat terkait dengan Isi
Siaran di daerah kepada KPI; dan melaksanakan kebijakan
KPI di daerah. Apabila
pasal-pasal tersebut diimplementasikan akan terjadi hal sebagai berikut: KPID
wajib dibentuk àeksistensi dan dasar pembentukan
(respon atas KPID dapat dibentuk) Pasal
33 ayat (2) KPI dapat membentuk perwakilan KPI di daerah.
Potensi
kriminalisasi lembaga penyiaran
Dengan
tidak adanya KPI Daerah memungkinkan terjadinya kriminalisasi akibat aduan
masyarakat tidak diseleksi dan ditelaah oleh KPID (lembaga yang berkompeten).
Masyarakat langsung mengadu ke aparat hukum dan ditindaklanjuti sebagai bentuk
pidana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar