Selasa, 26 Juli 2016

RUU PENYIARAN PERAN PEMERINTAH DOMINAN, Koran Tribun Jabar, 21 Juli 2016


Di dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) disebutkan bahwa RUU Penyiaran masuk dalam prioritas Prolegnas Tahun 2016 sebagai RUU Perubahan, namun memperhatikan substansi dan ketentuan teknis perancangan perundang-undangan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, sudah selayaknya UU Penyiaran diganti, mengingat sistematika, materi berubah lebih dari 50 % (lima puluh persen), serta esensinya  berubah maka UU Penyiaran harus diganti. Penggantian ini dimaksudkan untuk lebih memberikan kepastian dan ketertiban hukum dalam penyiaran dalam rangka mengantisipasi perkembangan teknologi di bidang penyiaran.

Namun tidak dapat dipungkiri bahwa UU Penyiaran merupakan salah satu pedoman bagi industri penyiaran untuk menjalankan kegiatannya dalam menyalurkan informasi dan memberikan pelayanan umum kepada publik, namun beberapa muatan materi atau substansi yang terkandung di dalam UU Penyiaran tersebut telah menimbulkan adanya ketidakjelasan dan multitafsir yang berbeda-beda sehingga mengakibatkan persoalan.

DPR saat ini tengah menggodog finalisasi RUU penyiaran tersebut dan ada yang menarik untuk dikritisi yaitu masalah “demokratisasi penyiaran”. Dalam negara yang menggunakan sendi demokrasi maka pers dan penyiaran seharusnya bebas serta  tidak memihak pada  pemerintah dan penguasa. Demokratisasi penyiaran  tidak memihak pada pemerintah namun diselenggarakan atas asas demokrasi. Dominasi pemerintah dalam penyiaran harusnya hilang. Dalam RUU Penyiaran, peran Pemerintah sangat dominan dan KPI tak memiliki peran dalam dunia penyiaran. Ada kekhawatiran dominasi KPI akan dihilangkan. KPI lemah karena struktur yang sentralistik antara KPI dan KPID. Dominasi pemerintah hilang kalau KPI menguat. KPI menguat apabila penataan struktur KPI mengacu pada sistem pemerintahan desentralisasi Pasal 18 B UUD NRI 1945.

Undang Undang Penyiaran lahir karena tuntutan demokratisasi di bidang penyiaran. Pemerintah di jaman orde baru memiliki kekuasaan yang sangat besar terhadap Penyiaran. Masyarakat dibatasi haknya untuk memperoleh informasi yang layak dan benar sesuai dengan hak asasi manusia, semua dibawah kendali Pemerintah. Demokratisasi meletakkan tanggung jawab ada di masyarakat dari, oleh dan untuk masyarakat maka regulator pemyiaran tidak hanya ada di tangan pemerintah tetapi juga di tangan lembaga negara independen yang merupakan representasi dari masyarakat untuk turut serta mengatur Penyiaran, yaitu KPI/KPID.

Hubungan KPI-KPID

Hierarki Desentralisasi (berpotensi dicabut/ tidak difasilitasi Pemda, sentralistik tidak sesuai dengan semangat otonomi daerah dan hakikat SSJ). Hubungan KPI dan KPID yang bersifat hierarki sentralistik dalam RUU Penyiaran  tidak sesuai dengan UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 12 ayat (2) huruf j bahwa komunikasi dan informatika adalah urusan pemerintahan wajib yang menjadi kewenangan Pemerintah Daerah. Komunikasi dan informatika adalah otonomi daerah maka KPID seharusnya diberikan kewenangan otonomi untuk menjalankan kewenangannya di daerah.

Selama ini KPID yang sangat mengerti kondisi penyiaran di daerah, dengan sistem sentralistik akan menjauhkan akses masyarakat lokal terhadap penyiaran akibatnya adalah sebagai berikut: lambatnya tindak lanjut terhadap aduan masyarakat, menyebabkan pelayanan publik terhambat, kebutuhan dan masalah di masing-masing daerah sangat spesifik, KPI (terpusat) saja tidak akan dapat mengatasi permasalahan di masing-masing daerah karena kapasitas SDM terbatas. Karakteristik, norma dan nilai yang hidup di masyarakat masing-masing daerah sangat berbeda, sensitivitas itu tidak dapat seluruhnya ditangkap dan ditangani secara cepat dan tepat oleh KPI (terPusat), Overload beban kerja KPI (terPusat).

KPID bukan lagi representasi dari masyarakat daerah karena dipilih oleh pusat maka konsekuensinya KPID tidak berwenang untuk mengawasi pelaksanaan SSJ. Selain bertentangan dengan semangat otonomi daerah hubungan sentralistik juga bertentangan dengan semangat SSJ. Lembaga penyiaran telah berproses melakukan SJJ, menyiarkan program siaran lokal.Segala urusan terkait SSJ yang selama ini menjadi kewenangan KPID tidak dapat ditangani seluruhnya oleh KPI terpusat.
Hubungan sentralistik memiliki konsekuensi segala macam sarana prasarana penunjang kinerja KPID yang selama ini difasilitasi oleh Pemda melaui APBD dicabut, misal: fasilitas kantor, mobil dinas, dll karena segala sarana prasarana KPID disediakan oleh APBN yang belum tentu sesuai dengan kebutuhan daerah dan kemungkinan besar dana APBN tidak mencukupi anggaran KPID.
RUU Penyiaran yang diusulkan: Pasal 33 ayat (4) KPI dengan perwakilan KPI di daerah memiliki hubungan yang bersifat hierarkis. Pasal 37 ayat 2 : Dalam menjalankan fungsi, tugas, dan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (2), Pasal 35 ayat (2), dan Pasal 36 ayat (2) Perwakilan KPI di daerah diawasi oleh KPI. Dan Pasal 55 : Dalam menjalankan fungsi, tugas, dan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal  35 ayat (2) dan Pasal 36 ayat (2), perwakilan KPI di daerah menyampaikan laporan kepada KPI.

Kewenangan Perijinan sepenuhnya ada di tangan Pemerintah.

Kewenangan di bidang  “perijinan” seharusnya tetap dimiliki oleh KPI dalam Pasal 35 ayat 1 huruf c KPI memberikan rekomendasi kepada Pemerintah terhadap konsep Isi Siaran yang diajukan oleh Lembaga Penyiaran dalam proses perizinan” kewenangan tersebut direduksi. 
Berangkat dari kekhawatiran DPR bahwa kewenangan ini kerap disalahgunakan oleh KPI/KPID, sebaliknya apakah kekhawatiran tersebut terjawab dengan melimpahkan kewenangan penataan struktur dan sistem siaran pada Menkominfo.

Berikut potensi resikonya: potensi terjadi penyalahgunaan kewenangan hanya  berpindah keKominfo, penataan sistem dan struktur siaran hanya oleh pemerintah akan berpotensi mengesampingkan kepentingan publik (partisipasi masyarakat dalam proses perijinan yang selama ini difasilitasi dalam forum EDP akan hilang, pemerintah sulit melakukan affirmative action terhadap lembaga penyiaran komunitas, akuntabilitas juga akan sulit dipantau oleh masyarakat, kewenangan memperoleh ijin hanya ada pada satu kaki berarti potensi pembreidelan atau pencabutan ijin sepihak oleh pemerintah juga besar (kembali ke jaman orba).

Penguatan KPID

KPID perwakilan dari KPI Pusat di daerah. Selama ini KPID yang  memahami kondisi penyiaran di daerah dan mengerti kebutuhan masyarakat di daerah akan penyiaran. Untuk negara kepulauan seluas Indonesia sangat mustahil urusan tersebut disentralisasi oleh pusat. Dalam RUU Penyiaran Pasal 35 ayat (2) Pasal Perwakilan KPI di daerah bertugas: melakukan pemantauan Isi Siaran di daerah; mengedukasi publik dalam hal penerimaan Isi Siaran; melakukan literasi media di daerah; menerima keluhan masyarakat untuk disampaikan kepada KPI; dan melaksanakan tugas-tugas lain yang diberikan oleh KPI. Dan Pasal 36 ayat 2:     Perwakilan KPI di daerah berwenang: mengawasi Isi Siaran di daerah; melakukan sosialisasi P3 dan SPS di daerah; menerima dan menyampaikan keluhan masyarakat terkait dengan Isi Siaran di daerah kepada KPI; dan melaksanakan kebijakan KPI di daerah. Apabila pasal-pasal tersebut diimplementasikan akan terjadi hal sebagai berikut: KPID wajib dibentuk àeksistensi dan dasar pembentukan (respon atas KPID dapat dibentuk)  Pasal 33 ayat (2) KPI dapat membentuk perwakilan KPI di daerah.

Potensi kriminalisasi lembaga penyiaran

Dengan tidak adanya KPI Daerah memungkinkan terjadinya kriminalisasi akibat aduan masyarakat tidak diseleksi dan ditelaah oleh KPID (lembaga yang berkompeten). Masyarakat langsung mengadu ke aparat hukum dan ditindaklanjuti sebagai bentuk pidana.  

Tidak ada komentar: