Oleh; Dr. Harliantara, Drs. M.Si.
PENGANTAR
Anggota
FDR INDONESIA meluangkan waktunya untuk berkomunikasi melalui medium internet
dengan aplikasi milis yahoo group dan page Facebook serta setahun sekali
berkumpul di satu tempat untuk berdiskusi secara langsung dalam FDR SUMMIT.
Kami berbicara, mendengar, berdialog, berpartisipasi dalam diskusi kelompok dan
sebagainya. Dari sejak berdiri 17 November 2007 FDR INDONESIA membentuk
kehidupan personal, profesi, hubungan antar personal dan sosial.
Nilai-Nilai Personal
Berhubungan
dengan identitas personal selama anggota FDR INDONESIA berkomunikasi dengan
orang lain dan berada di lIngkungan industri radio. Pada masa awal kehidupan di
dunia radio, para pengelola radio berbicara pada kita tentang siapa kita. “Kamu
suaranya bagus”, “Kamu memiliki intelektual yang bagus”, “Kamu orangnya
humoris”. “Kamu orangnya rajin dan jujur”. “Kamu emsosional”, “Kamu orangnya
bisa kerjasama”, "Kamu Kerjanya Cepat", Kamu Kerjanya Lambat",
dan lain-lain. Kita memahami diri kita sendiri melalui mata orang lain dalam
hal ini kita mengetahui dari mereka yang menyeleksi kita masuk ke dunia radio,
sehingga pesan-pesan mereka membentuk landasan konsep diri yang penting di
dunia radio. Kemudian kita berinteraksi dengan senior pelatih radio, teman
praktisi radio, teman dekat, teman sekerja, mereka orang-orang yang
menyampaikan pandangannya mengenai kita. Kemudian bagaimana kita melihat diri
kita sendiri yang merefleksikan pandangan-pandangan mengenai diri kita yang
disampaikan orang lain.
Komunikasi
dengan orang lain tidak hanya mempengaruhi “sense of identity” kita, namun
secara langsung mempengaruhi juga tingkat keresahan dan depresi. Secara konsisten
penelitian menunjukkan bahwa orang yang sedikit akrab memiliki tingkat
keresahan dan depresi yang lebih tinggi dari pada orang-orang yang berhubungan
akrab dengan orang lain.
Nilai-Nilai Hubungan
Komunikasi
juga merupakan landasan utama dalam hubungan sesama anggota FDR INDONESIA.
Anggota harus berhubungan dengan orang lain dengan menampakkan identitas
pribadinya, membaca pesan milis , membaca dan menulis pesan serta mendengarkan
diskusi langsung untuk mempelajarinya, memecahkan masalah dalam setiap isyu
yang dikembangkan dalam diskusi di milis maupun page website, mengingat kembali
masa lalu, dan merencanakan masa depan.
Komunikasi
walau bagaimanapun adalah penting lebih dari sekedar untuk mengakrabkan diri
dalam FDR INDONESIA. Kebanyakan anggotanya, setiap hari menulis, membaca,
berpikir, berpendapat dengan verbal di milis dan diskusi langsung dengan
mendengar dan berbicara.
Nilai-Nilai Profesi
Keterampilan
berkomunikasi mempengaruhi dalam sebuah profesi. Pentingnya komunikasi nampak
dalam profesi kepenyiaran radio, dimana membaca, berbicara, mendengarkan, dan
menulis merupakan aktivitas pokok.
Nilai-Nilai
Kultural
Keterampilan
berkomunikasi yang baik membutuhkan keterlibatan dalam kehidupan sosial. Dalam
kultur pluralistik, kita berinteraksi dengan orang-orang yang berbeda dengan
kita, dan kita harus mengetahui bagaimana caranya memahami dan bergaul dengan
mereka yang ada diseluruh anggota FDR INDONESIA dari Sabang sampai Merauke.
Komunikasi adalah penting untuk kehidupan personal, profesi dan budaya. Karena
komunikasi merupakan dasar kehidupan manusia.
I. SEKILAS TENTANG FDR INDONESIA
Perjalanan
yang panjang berhimpunnya orang-orang yang mencintai radio baik dari kalangan
praktisi radio (publik,swasta, maupun komunitas), pengamat radio, akademisi,
periklanan, kehumasan dan masyarakat umum dalam sebuah forum untuk membahas
tren industri radio di Indonesia. Berhimpunnya orang-orang yang mencintai radio
ini diwadahi melalui FORUM DISKUSI RADIO (FDR) INDONESIA yang didirikan pada
tanggal 17 November 2007.
Kegiatan awalnya adalah diskusi radio melalui milis yahoo group dan hanya beranggotakan Harley Prayudha (saat itu masih sebagai General Manager Delta FM Surabaya) dan Herru Soleh (saat itu masih berada di Radio Suara Surabaya sebagai Business Development Manager), Bonny Prasetya Station Manager dari Radio Swaragama Yogyakarta, dan Agung Prasetyo Station Manager dari Radio BOM FM Semarang. Obrolan khas orang-orang radio ngalor ngidul tentang kegelisahan mengamati industri radio yang terus menurun menjadi pemicu kreativitas dan ide ide yang muncul secara liar untuk bisa di implementasikan di stasiun radionya masing-masing serta ditularkan pada yang lainnya. Diskusi di milis ini lebih mengarah kepada aspek-aspek radio siaran seperti sumber daya manusia, program, marketing, promosi, keuangan, teknik, sampai ke perkembangan teknologi penyiaran termasuk inovasi berbasis new media. Berbagi Informasi dan ilmu rutin dilakukan setiap hari di internet. Kemudian keanggotaan milis bertambah dan sebagai langkah untuk penyebaran informasi kegiatan dibuat juga page Facebook
Kegiatan awalnya adalah diskusi radio melalui milis yahoo group dan hanya beranggotakan Harley Prayudha (saat itu masih sebagai General Manager Delta FM Surabaya) dan Herru Soleh (saat itu masih berada di Radio Suara Surabaya sebagai Business Development Manager), Bonny Prasetya Station Manager dari Radio Swaragama Yogyakarta, dan Agung Prasetyo Station Manager dari Radio BOM FM Semarang. Obrolan khas orang-orang radio ngalor ngidul tentang kegelisahan mengamati industri radio yang terus menurun menjadi pemicu kreativitas dan ide ide yang muncul secara liar untuk bisa di implementasikan di stasiun radionya masing-masing serta ditularkan pada yang lainnya. Diskusi di milis ini lebih mengarah kepada aspek-aspek radio siaran seperti sumber daya manusia, program, marketing, promosi, keuangan, teknik, sampai ke perkembangan teknologi penyiaran termasuk inovasi berbasis new media. Berbagi Informasi dan ilmu rutin dilakukan setiap hari di internet. Kemudian keanggotaan milis bertambah dan sebagai langkah untuk penyebaran informasi kegiatan dibuat juga page Facebook
Logo
FDR INDONESIA dibuat oleh salah satu anggota yang memiliki kemampuan desain
grafis yaitu Arie Ardianto - DJ Arie (FDR 010) dari Bandung sebagai simbol
keseriusan wadah FDR INDONESIA yang hasil karyanya dipergunakan hingga
sekarang.
Seirama
dengan perjalanan waktu para pendiri dan anggota terus mengundang teman-teman
lain yang mencintai radio untuk bergabung di FDR INDONESIA melalui komunikasi
tatap muka maupun internet. Pada perkembangannya anggota terus bertambah, saat
ini jumlah anggota 686 Orang dari beberapa kota di Indonesia dengan nomor
anggota sesuai urut bergabungnya.
DISTRICT
anggota yang terdaftar pada FDR INDONESIA sudah mulai menyebar sesuai urut
keanggotaan diantaranya: Bandung, Bogor, Yogyakarta, Semarang, Malang, Jakarta,
Samarinda, Tarakan, Palembang, Batu Malang, Makassar, Depok, Cirebon, Lampung,
Denpasar, Serang Banten, Pekanbaru, Madiun, Tulungagung, Medan, Banda Aceh,
Banjarmasin, Kediri, Kupang, Pontianak, Lubuklinggau, Surabaya, Mataram, Solo,
Cianjur, Garut, Pangkalan Bun, Tangerang, Karawang, Bekasi Batam, Jember,
Pematangsiantar, Palangkaraya, Banyuwangi, Salatiga, Flores, Subang, Kendari,
Bojonegoro, Magelang, Tebingtinggi, Balikpapan, Bengkulu, Palopo, Jepara,
Trenggalek, Pangkajene Pangkep, Sidoarjo, Lahat, Tasikmalaya, Indramayu,
Sumenep, Sukabumi, Bontang, Kapahiang Bengkulu, Banjar Baru, Bukittinggi,
Wonogiri, Tanjung Pati Payakumbuh, Pekalongan, Ciamis, Jombang, Tanjungpandan
Belitung, Pandeglang, Ponorogo, Kambanjahe, Pematangsiantar, Kepanjen Malang,
Lebak Pandeglang, Nganjuk, Duri Riau, Langsa Aceh, Lampung, Sampit, Serang
Banten, Bangkalan Madura, Randublatung Blora, Padang, Ambon, Rantauprapat,
Lhokseumawe, Bumi Ayu, Solok Sumbar, Bau Bau Sultra, Kuningan, Pariaman Sumbar,
Karimun Kepri, Rokan Hulu Riau, Majalengka, Kuningan, Ketapang Kalimantan,
Bengkalis, Pasaman Barat, Manado, Purbalingga, Kandangan Kalimantan, Pacitan,
Dumai, Pati, Belitung, Ternate, Cikampek, Situbondo, Pasuruan, Kabupaten
Polman, Mojokerto, Bondowoso, Tuban, Besuki, Pandaan, dan Jambi,
Secara
aklamasi Harley Prayudha (FDR 001) diberi amanah untuk menjadi Presiden dan
wakilnya adalah Herru Soleh (FDR 002). Namun kini Harley dan Herru yang tadinya
berdomisili sama-sama di Kota Surabaya, kembali ke kampung halamannya
masing-masing, Harley ke Bandung dan Herru ke Bogor namun tetap memimpin FDR
INDONESIA.
Kelembagaan
FDR INDONESIA ini dikelola dengan hati nurani para praktisi radio di Indonesia
untuk terus menghidupkan nafas keradioan. Maka tidak mengherankan memunculkan
taliban-taliban radio sebagai penggerak hidupnya FDR INDONESIA diantaranya
adalah Aldie Bin Ama, Pangkalan Bun Kalimantan (FDR 150), Roy Anwar, Pontianak
(FDR 564), Mamik Yuniantri, Banyuwangi (FDR 461)), Ning Dyah, Surabaya (FDR
030) Ellen Pratiwi, Surabaya (FDR 353), Ricky Samuel, Surabaya (FDR 090), Ian
Manan, Surabaya (FDR 624) Yoyong Burhanuddin,Surabaya (FDR 245), Boy Hendri,
Surabaya (FDR 408), Joko Suryono, Lubuklinggau (FDR 207), Rudy Setiyono,
Lubuklinggau (FDR 098), Andi, Banjarmasin (FDR 305), Venusia, Banjarmasin (FDR
257), Riza Solichin, Bandung (FDR 160), Cay Cahya, Bandung (FDR 545), Dadan
Kusnendar, Bandung (FDR 113), Ian Taryan, Semarang (FDR 012), Agung Prasetya,
Semarang (FDR 004), Dendi Ganda, Semarang (FDR 277) Joko Krisna, Semarang (FDR
278), Boma Ardian, Yogyakarta (FDR 221), Ronny Arya, Yogyakarta (FDR 303),
Bonny Prasetya, Yogyakarta (FDR 003)), Jojo Prasetyo, Tarakan (FDR 059), Afiq
Ikhsan,Tarakan (FDR 018), Joko Sihono, Balikpapan (FDR 605), Pati Perkasa, Jakarta
(FDR 029) Slamet Mulyadi, Jakarta (FDR 112), Ricky Brataatmadja, Jakarta (FDR
071), Dendan Ronggo Astono, Bali (FDR 060), Theny Panie, Kupang (FDR 537),
Andhika, Padang (FDR 544), Awan Albana, Palembang (FDR 027) Bisma Nugraha,
Palembang (FDR 067), Eddy Surjanto, Jayapura (FDR 517), Mervin Silitonga,
Pematangsiantar (FDR 346), Ismet Bustaman, Duri Riau, (FDR 431)), Susi
Heryanti, Pekanbaru (FDR 658), Agus P. Suprapto, Bengkulu (FDR 348), Harry
Zhily, Ponorogo (FDR 510), Ariyanto, Solo (FDR 149), Harry Darmawan, Bogor (FDR
300), Irchfan Delonix, Bogor (FDR 020), Dhani Wahab, Bekasi (FDR 370), Wien
Aulia, Nganjuk (FDR 365), Zaky Paqih, Kupang, (FDR 096), Rendy Rinaldi, Lampung
(FDR 512) dan lain-lain.
Masukan
dari beberapa pihak bahwa FDR INDONESIA sebaiknya dijadikan organisasi resmi
seperti layaknya organisasi berbadan hukum yang memiliki AD/ART, namun para
pendiri lebih memilih FDR INDONESIA dibiarkan berjalan sesuai "Hati
Nurani" anggotanya. Fakta membuktikan sampai saat ini tetap ajeg berdiri
menyebarkan semangat profesional dan berazaskan kekeluargaan.
Beberapa
Tokoh Senior Keradioaan dan Pengamat Radio di Indonesia pernah menjadi
pembicara di forum ini seperti: Errol Jonathans (FDR 570), Frans Padak (FDR
560), Hario Wijanarko (FDR 051), Denny J. Sompie FDR 273), Jeffrey ST (FDR
170), Agus F. Sutama (FDR 105), Djoko W. Tjahyo, (FDR 500), Ronny Mustamu (FDR
016), Hemat. Dwi Nuryanto (FDR 394), Indra Bigwanto (FDR 094), Candra Novriady
(FDR 200), Andy Rustam Munaf (FDR 541), Nonos Suparno (FDR 598), Boy Hendri
(FDR 408), Riza Solichin (FDR 160), Herry Koko (FDR 232), Yoyong Buhanuddin
(FDR 245), Lucy Laksita (FDR 068), Pati Perkasa (FDR 029), Bambang Parikesit
(FDR 572), Verry Firmansyah Suherlan (FDR 445), Retno Dewanti (FDR 591), Potan
Rambe (FDR 571), Pedet Wijaya (FDR 608), Jack (FDR 554), Dll.
Dari
kegiatan diskusi melalui internet baik melalui milis yahoo group maupun page
Facebook, setiap tahun anggota berkumpul untuk mendiskusikan lebih dalam
tentang isyu-isyu radio dengan nama kegiatannya adalah FDR SUMMIT. Dalam
menentukan kota penyelenggaraan setiap anggota berhak memilih tempat dan
kesiapan kota penyelenggara, setelah ditemukan nama-nama kota terpilih seluruh
anggota akan melakukan voting, Kota dengan suara pemilih terbanyak adalah
pemenangnya dirangkai dengan penunjukkan langsung anggota yang bertanggung
jawab dalam mempersiapkan dan penyelenggaraan kegiatan FDR SUMMIT tersebut.
Kegiatan
FDR SUMMIT pertama kali diselenggarakan di Kota Yogyakarta (2008) dengan
penanggungjawab kegiatan Bonny Prasetya (FDR 003), kemudian kedua di Surabaya
(2009) penanggungjawab Ronny Mustamu (FDR 016), dilanjutkan ketiga di Kota
Bandung (2010) penangungjawabnya Harley Prayudha (FDR 001), dan keempat di
Bogor (2011) penanggungjawabnya Herru Soleh (FDR 002), Sedangkan yang Kelima di
selenggarakan di Kota Semarang (2012) dengan penanggungjawab Ian Taryan (FDR
012), keenam di Solo (2013) penanggung jawab Ariyanto (FDR 149), kemudian yang
ketujuh di Malang (2014) penanggungjawab Ellen Pratiwi (FDR 353), serta
kedelapan terselenggara di Denpasar Bali (2015) penanggungjawabnya adalah
Dendan R Astono (FDR 060), dan kesembilan akan diselenggarakan di Pekanbaru
(2016) dengan penanggungjawab kegiatan adalah Ismet Bustaman (FDR 431).
Keunikan
dari forum ini seluruh pembiayaan kegiatan adalah swadaya, anggota dan
pembicara mendanai sendiri untuk hadir di forum ini (Akomodasi, Konsumsi, Dan
Transportasi). Namun terkadang menerima donasi dari pihak sponsor yang
berpartisipasi dalam kegiatan FDR SUMMIT dan berdampak pada biaya yang dikeluarkan
oleh anggota untuk hadir menjadi lebih murah terutama untuk akomodasi dan
konsumsi. Kami akan terus tanpa lelah mendorong iklim penyiaran radio yang
kondusif dengan mendorong profesionalisme para praktisi radio di Indonesia
untuk menjadi lebih baik serta memberikan kontribusi meningkatkan kompetensi
khususnya aspek pengetahuan.melalui informasi perkembangan industri radio
terkini.
II. CATATAN SINGKAT OBROLAN FDR
INDONESIA
Diawal
terbentuknya FDR INDONESIA milis anggota masih bicara yang ringan-ringan saja
hanya berisi perkenalan dan kangen-kangenan karena milis yahoo group FDR
INDONESIA dijadikan sarana komunikasi untuk mereka yang sudah lama tidak
berkomunikasi dan tidak bertemu di alam nyata namun akhirnya berjumpa di alam
maya pada milis ini, kemudian melalui milis inilah tidak disadari terjadi
ikatan emosi jiwa keradioan. Gurauan menghibur sangat kentara dalam obrolannya
terutama bagi mereka yang sudah kenal lama, ada juga anggota yang
memperkenalkan diri dan berkenalan satu dengan lainnya. Kalimat-kalimat standar
yang terukir seperti : “Iya, long time no see”, apalagi praktisi yang berasal
dari sunda, dengan kalimat khasnya “Sono pisan euy...lamun ka Jakarta telepon
urang nya !!!” ada juga yang memperkenalkan diri “ Saya...sekarang
Alhamdulillah masih dipercaya jadi Program Director Radio...” , “Salam kenal
dulu sebelumnya, kenalin nama saya...saya bekerja sebagai reporter dan berkutat
di dunia berita”, yang lainnya ada juga yang mengungkapkan rasa senangnya “
Seneng banget deh bisa diajak gabung di milis yang isinya orang-orang radio,
perkenalkan nama saya....”. Memang sangat terasa sekali bagi orang-orang yang
pernah dan sedang bekerja di radio hubungan emosi antara manusia dengan radio
sangat erat sekali sering dibaratkan radio itu "narkoba", "nyandu
sekali" walaupun sudah bekerja dimanapun radio tetap melekat dalam
darahnya. Jadi mereka itu golongan darahnya sudah “R”...RADIO !!!
II.1. OBROLAN HARLEY DAN HERRU
Radio
memang medium yang unik dan mudah menyesuaikan seiring perkembangan teknologi
dan komunikasi. Pertumbuhannya pun sangat signifikan jika dilihat dari
jumlahnya radio yang tersebar di Indonesia ini, sehingga tidak heran akan
menarik jika dibicarakan potret perkembangannya. Dua pendiri Harley Prayudha
dan Herru Soleh di awal berjalannya milis diskusi FDR INDONESIA sempat
berbincang-bincang di waktu senggang bekerja yang pada saat itu Harley di Delta
FM Surabaya dan Herru di Radio Suara Surabaya. Perbincangan diawali oleh Harley
Prayudha (FDR 001): dengan kondisi iklan radio yang secara nasional terus
menurun, apakah Industri radio sekarang ini sedang sekarat ? atau justru malah
sebaliknya, buktinya banyak pebisnis radio baru yang mengajukan Izin, atau
radio kembali kezaman dulu, bahwa berdirinya station radio hanya untuk ajang
hobby ngga perlu iklan tapi operasional radio jalan terus yang penting bisa
"On-Air" untuk kepentingan lain. Herru Soleh (FDR 002): Terus terang,
saya prihatin dengan data yang sering direlease bahwa potensi pendengar radio
turun. Jadi kalau catatan ini kita coba "cross" dengan fakta-fatka
dilapangan ternyata memang mendekati benar, banyak radio (industri yang tidak
membaca perubahan pasar) sehingga penyakit rutinitas dan superior di radio
kambuh. Televisi mungkin penyebab utama, tapi pembukaan Mall baru juga memiliki
kontribusi yang lumayan untuk orang tidak mendengarkan radio (coba lihat kalau
pukul 10 pagi Mall buka s/d 10 Malam) maka sekian persen orang pada ngadem di
Mall, apalagi sabtu & minggu + mall bikin event dengan mendatangkan artis
!!!. menurut saya kesalahan dari kita sendiri yang konon mengklaim industriawan
radio, yang tidak pernah komit terhadap kulitas produk, ditambah dengan banting
harga iklan (ini mungkin bisa dinikmati sesaat) tapi kalau dengan banting iklan
radio bisa bertahan lebih dari 3 tahun itu hebat. Nah ini kondisi yang saya
lihat, menariknya para RADIO-ER tidak pernah mencoba bersatu agar menarik
perhatian pengguna media lain atau radio tidak pernah dikomunikasikan secara
"Integrated" untuk melawan persaingan kompetisi media. Ada istilah
yang lagi ngetrend di Advertising, 1st Screen, 2nd Screen dan sekarang 3th
Screen, yang sedang mengancam, hampir seluruh media. Harley Prayudha (FDR 001):
Kalau memang Televisi penyebabnya yang utama, boleh jadi Industri radio memang
harus bersatu, terutama para pemilik-pemilik radio kita perlu belajar dari
bagian sejarah radio di Negerinya Obama. Saat Industri Radio terguncang oleh
kehadiran Televisi mereka bekerja keras mencari solusi kreatif untuk tetap
mempertahankan eksistensi radio. Namun bagi kita ini pekerjaan rumah yang besar
dan banyak pesimisnya jika harus bepikir lebih dalam. Banyak faktor
"X" yang menghambat kemajuan Industri radio termasuk
pelaku-pelakunya. Entahlah apakah mereka tetap menganut pada paradigma lama
atau bagaimana ? Untuk menyatukan orang-orang radio memang sulit, namun tidak
ada salahnya kita berupaya memulai dari yang kecil seperti diskusi ini.
Jangankan kita berbicara industri radio secara nasional, di daerahpun paradigma
berpikir orang radio masih banyak yang berbeda satu dengan yang lain. Kita
memang tidak cukup hanya berdzikir setiap malam untuk kemajuan industri radio
di Indonesia ini, kita mungkin memerlukan pembisik-pembisik yang tepat agar
mereka memahami betul bahwa Industri radio saat ini perlu penanganan dengan
paradigma baru bukan hanya kepentingan perseorangan atau kelompok semata.
Menurut saya berdirinya Mall mengganggu itu hanya baru asumsi. Mall tidak
terlalu berpengaruh karena berdirinya Mall seirama pula dengan pertumbuhan
penduduk suatu daerah yang peningkatannya signifikan dengan perubahan gaya
hidup. Ceruk khalayak masih memungkinkan untuk dikreatifkan, tapi kalau
Televisi menurut saya memang kompetitor media yang perlu kita perhitungan,
inilah problem besar yang harus kita hadapi bersama sebagai insan radio, senang
sekali kalau kita mau bersatu. Tapi masalahnya, mau tidak ya pemilik radio
bersatu ?
II.2. SALES versus PROGRAM
Selang
beberapa waktu salah satu anggota FDR INDONESIA menulis topik diskusi di milis
dengan men-share-kan pengalamannya tentang SALES versus PROGRAM. Disebutkan
dalam tulisannya Novi Wijaya (FDR 076) pernah bertemu seorang klien dari
perusahaan besar di kawasan sudirman Jakarta. Klien tersebut mengeluh, kenapa
ya sulit sekali mengedukasi masyarakat sementara mereka sendiri tidak memiliki
dana banyak untuk berpromosi (kebetulan kaitannya dengan bidang keuangan).
Ketika ditanya, ke media mana saja mereka berpromosi/campaign, jawabnya ada di
cetak dan radio, masih menurutnya untuk televisi memang mereka sengaja tidak
pilih karena respon kurang bisa diukur.
Kemudian
Novi Wijaya (FDR 076) terus mendesak dengan pertanyaan " apa selama ini
kurang puas dengan hasil yang dicapai ?" ternyata jawabannya iya. Klien
sebenarnya lebih suka pasang di radio karena kecepatan respon yang mereka
terima. Namun terkadang radio tidak bisa sedetil media cetak dalam memaparkan
permasalahan, mengedukasi, dan materi yang ingin disampaikan. Menurut klien
tersebut "radio itu jarang sekali datang dengan solusi" tetapi
seringnya datang dengan proposal yang isinya hanya anjuran untuk berpromosi
melalu talkshow,spot, adlibs,insert hingga program wawancara atau reportase.
Untuk perusahaan yang segmented seperti klien tersebut, tentu bukan ini yang
dimau, klien sering membandingkan dengan media cetak yang selalu datang dengan
isyu terbaru sesuai porsi perusahaan tersebut. Oleh karena itu untuk
menjawabnya atau ide dilapangan agar sesuai dengan keinginan klien, kita harus
menggunakan taktik seperti seorang dokter, biarkan pasien menumpahkan keluh
kesahnya dulu, baru dikasih obat, jadi si dokter tidak salah ketika memberi
saran tentang kesehatan atau dengan kata lain, si klien jadi merasa benar-benar
yakin kenapa dia harus beriklan di radio.
Dari
studi kasus ini kita harus menyadari dan instropeksi dengan yang ada diindustri
radio pada umumnya, ketika ujung-ujungnya mau mengejar pendapatan. Kita
terkadang jarang membuat gebrakan dalam mempromosikan dan "menjual"
radio hingga memproduksi acara yang sifatnya customized dengan cara yang
berbeda. Orang-orang seperti klien diatas masih banyak dengan.beragam
perusahaan, dan mereka masih bingung bagaimana mengukur efektifitasnya ketika
beriklan atau berpromosi di radio. Coba pelajari di media cetak dan televisi
mereka lebih fleksibel menyesuaikan, kita jangan hanya melihat dari sisi
persaingan antar radio saja, akan tetapi para praktisi radio di Indonesia harus
melihat ini sebagai "big industri" sehingga ujung-ujungnya peran
radio semakin kuat dan diperhitungkan.
Ditambahkan
juga beberapa hal penting untuk menjual program seperti yang disampaikan Kartika
Widyastuti (FDR 169) : 1). Establish a clear and UNIQUE difference between you
and your competition 2). Craft a messages from CUSTOMER’S point of view, 3).
Position your staff as an experts and credible ADVISORS, 4). Repetition builds
reputation, 5). Building trust takes time, 6). Be consistent with your message,
7).Your sales tools don’t have to be HARD-SELL, 8). Customers want you to
deliver value OVER price.
Sedangkan
Benny Feryadi (FDR 032) meninjau dari sudut lain bahwa radio bisa menjadi media
promosi yang tepat untuk sebuah produk yang segmented, asalkan didukung dengan
kemampuan yang baik dalam mengolah informasi dan menyajikannya dalam sebuah
kemasan yang menarik. Jadi jangan khawatir untuk beriklan di radio, karena
hanya sebagian radio yang merasa kesulitan. Oleh karena itu radio harus tetap
bersatu saling berbagi ilmu dan informasi untuk meningkatkan terus kemampuannya
agar produsen atau pengiklan menjadi bertambah yakin untuk beriklan di radio.
Lebih lanjut Benny Feryadi (FDR 032) mengungkapkan bahwa Untuk klien yang
memiliki produk yang sangat "segmented", media promosi yang tepat
adalah televisi, karena melalui penayangan produknya di televisi, maka konsumen
/ pemirsa televisi dapat dengan langsung mengetahui apa sih produk itu, apasih
keunggulannya, dan dimana sih mendapatkannya, dalam hal ini bagaimana kita
mengemasnya agar menjadi lebih mudah dan membuat para konsumen untuk
mencarinya. Apalagi promosinya dikemas dalam sebuah promo khusus sehingga
membuat konsumen merasa perlu untuk mengetahui lebih jauh tentang produk itu.
Menurut
Benny Feryadi (FDR 032) produk "segmented" ini tidak bisa dipaksakan
langsung ke konsumen untuk disukai, perlu strategi jitu dalam pola penyampaian
pembelajaran kepada kensumennya. Jika memang "budget" untuk berpromosi
di televisi atau media cetak, tidak mencukupi memang "Radio" menjadi
pilihan akhir yang dijadikan media promosi, namun untuk sebagian radio, dalam
memenuhi kebutuhan promosi produk- produk “segmented” bukan sebuah hal yang
mudah. Kesulitan di sebagian radio untuk produk-produk yang segmented, adalah
terletak pada segi kreatif dan isi yang akan di sampaikan, untuk mengatasinya,
dibutuhkan sebuah tim kreatif di radio yang piawai dalam penyusunan kata-kata
yang dikemas sedemikan rupa, sehingga kalimat yang disampaikan selalu gampang
untuk diingat oleh pendengar, jadi ketika kalimat tersebut terdengar maka
otomatis sipendengar akan langsung teringat akan produk tersebut. Hal ini harus
juga didukung dengan tekhnis penjadwalan (Periode Siar) dan frekuensi
penayangannya. Penempatan jam tayang dan frekuensi siar yang tepat, akan
membuat produk tersbut cepat di kenal oleh pendengar. Catatan akhir dalam
diskusi ini Benny Feryadi (FDR 032) menyebutkan antara kreatif dan penjadwalan
(Periode Siar) serta frekuensi penyiarannya, harus di atur sedemikan rupa
sehingga ke tiganya dapat saling mendukung dalam proses penyampain informasi
dari produk yang "segmented" kepada pendengarnya. Jika salah satu
saja tidak dapat memenuhi yang lainnya, maka hasil yang diharapkan akan sulit
tercapai.
Lain
halnya yang terjadi didaerah, kisahnya disampaikan oleh Debby Suryana (FDR 005)
dia selalu datang ke klien dengan fungsi layaknya seorang konsultan promosi dan
ini menjadi andalan untuk berjualan radio. Namun menurutnya klien-klien di
daerah belum banyak yang paham berpromosi di radio oleh karena itu kita harus
rajin menjelaskan pentingnya promosi di radio. Persoalan lain yang kadang
membuat patah semangat kebanyakan klien di daerah bukanlah pembuat keputusan
untuk mengeluarkan dana promosi, mereka harus menjelaskan kembali kepada
pemilik perusahaan atau pimpinan kantor pusat yang berada di Jakarta atau
daerah lain. Jadi seorang account executive atau AE di radio daerah memerlukan
energi ekstra untuk bisa meyakinkan pemasang iklan berpromosi di radionya.
II.3. MEMBUAT PROGRAM RADIO YANG
NENDANG
Dalam
kesempatan lain di milis FDR INDONESIA sempat didiskusikan tentang bagaimana
membuat program radio, Tony Thamrin (FDR 046) bertanya “apa coba ramuannya”
jika stasiun radio mau membuat program radio yang “nendang” ? Apa hanya cukup
referensi "Needs & Wants"-nya Audiens saja ? Apa perlu survey
dulu cari data? atau cukup by feeling creative team ? Program radio yang sukses
itu apa ukurannnya ? hanya ratingnya saja yang bagus atau laku dijual ? atau
semuanya perlu ? Menurut Tony Thamrin (FDR 046) sebenarnya semuanya perlu,
karena sebuah program itu hasil sinergi dari unsur-unsur yang disampaikan tadi.
Sebagai praktisi radio kita harus membuat program untuk menjadi
"trendsetter", pendengar tinggal di "drive" saja. Di
"educated" dengan sesuatu yang tidak seragam. "Feeling creative
team" juga dibutuhkan. Tony Thamrin (FDR 046) juga menyadari bahwa
sekarang ini stasiun radio mentuhankan rating. Radio "aneh" saja bisa
menjadi nomer satu. Apa iya untuk menjadi nomer satu kita harus
"mengkampungkan" diri. Lantas jika semuanya menggunakan formula yang
sama, bukannya malah terjadi keseragaman?. Lebih lanjut Tony Thamrin (FDR 046)
juga mengungkapkan meskipun rating sekarang banyak yang meragukan keabsahannya,
tapi klien-klien tutup mata dengan tetap berpatokan dengan rating, dan hal ini
menjadi dilema dalam siaran radio khususnya di kota-kota besar yang diteliti
oleh Nielsen. Dalam tulisannya Tony Thamrin (FDR 046) juga mengungkapkan bahwa
program siaran perlu persiapan yang baik, tetap mengutamakan konsep dan isi
siaran alias konten. Dan tidak kalah pentingnya dalam program siaran yang
nendang tergantung penyiarnya juga, "Man behind the gun". Penutup
komentarnya Tony menulis “ Kalo kokinya enak, mau sejauh apapun letak restoran
koki itu, pasti pelanggannya akan mengejar dimanapun dia berada.
Apa
yang ditulis oleh Tony Thamrin (FDR 046) tentang pentingnya ramuan program
disetujui oleh Ning Dyah (FDR 030). Namun Ning Dyah mempertanyakan survey
seperti apa yang bisa dipercaya. Apakah hanya nanya kesini kesitu atau
bagaimana? Selama ini, menurut Ning Dyah (FDR 030) program radio tetap masih
terfokus pada "needs and wants" nya "audience", ditambah
kreativitas. Sebagus apapun format program, apabila penyiar sebagai
eksekutornya tidak bagus, menurut Ning Dyah (FDR 030) program radio tersebut
hasilnya tidak bagus juga. Sampai Ning Dyah (FDR 030) mempertanyakan apa benar
mencari penyiar yang bagus itu sulit ? Jika masalah membuat program yang
nendang, sepertinya Ning Dyah (FDR 030) setuju dengan apa yang ditulis Tony
Thamrin (FDR 046). Tapi masalah penyiar yang masih membuatnya kebingungan,
Sampai Ning Dyah (FDR 030) tidak mengerti apakah benar mencari penyiar yang
bagus itu sulit. Menurutnya cari penyiar yang bagus itu tidak sulit, yang sulit
itu membayarnya. Ada satu kecenderungan, perusahaan kadang-kadang ‘enggan’
merekrut penyiar yang sudah bagus dengan alasan, tidak ada “bugdet.” karena
sudah pasti honornya lebih tinggi dari standar yang ada. Padahal pada umumnya jika
"skill" seseorang sangat baik (di bidang apa pun), maka orang itu
akan dicari dengan penawaran honor yang lebih tinggi. Sedangkan di Indonesia ,
semakin tinggi "skill" seseorang, perusahaan semakin enggan membayar
sesuai kemampuan maksimalnya. “Betul sekali, perusahaan enggan merekrut penyiar
mahal“ menurut Kartika Widyastuti (FDR 169) bahwa perusahaan tidak berani
mengambil resiko, penyiar itu di CV-nya, selain punya data-data kualitatif
[biodata, pendidikan, pengalaman kerja] mereka juga harus punya data
kuantitatif.
Pemikiran
sanggahan datang dari Agung Prasetyo (FDR 004) yang mengatakan bahwa semua
program radio itu "GOMBAL". Bukannya praktisi radio tidak kreatif
tetapi para pemilik radio itu yang hanya bisanya membuat Statiun Radio, tetapi
tidak mengerti harus berbuat apa setelah itu. Yang harus disadari: 1). Industri
radio itu sudah diambang pintu kiamat (ini berdasar penganmatan di jawa
tengah), 2). Proragm tidak harus selalu berbeda, buat apa membuat program rumit
rumit jika ternyata dilapangan tidak ada yang mendengarkan 3). Jangan malu
untuk mengikuti "mainstream" yang sedang berlaku. (sama-sama jual
bakmie, buktinya ada yang laris dan ada yang tidak) 4). Pernyataan saudara Tony
Thamrin (FDR 046) bahwa "audience" tinggal di “drive” itu kapan? Kalau
Radio zaman dulu mungkin iya, Agung Prasetya mencontohkan bahwa radio Prambors
atau Trax yang jagoan di Jakarta, tidak ada gaungnya di Semarang, ini artinya
menurut Agung “orang-orang Jakarta jangan Besar Kepala”. 5). Ke depan bisnis
media itu yang kuat adalah di "content" lokalitasnya, Untuk apa
membuat program jika tidak berdasarkan ukuran pendengar setempat. Agung
Prasetyo (FDR 004) juga menyarankan buatlah sistem dan yakinkan bahwa ada
harapan masa depan yang cerah pada setiap personil radio. Aan Senas (FDR 014)
menambahkan pula dalam diskusi ini bahwa membuat program yang nendang itu
memiliki sifat yang cukup subyektif karena dibilang nendang kebutuhan pendengar
masing-masing radio itu berbeda-beda. ada yang suka ada yang gak suka jadi
sangat relatif membuat program yang nendang. Namun Aan menjelaskan bahwa untuk
membuat banyak pendengar dan banyak iklan tentunya harus diserasikan dengan
komposisi pendengar dan kebutuhan pendengar itu sendiri sekaligus
"segment" dari radio yang bersangkutan. Jika ada satu radio memiliki
program yang nendang dan sukses, jika kita langsung menirunya belum tentu
sesukses radio yang kita tiru. Tetaplah terus mencari inovasi program secara
berkelanjutan, karena tidak ada aturan yang pasti program itu sukses
sebagaimana yang kita harapkan. Program radio itu spekulatif.
II. 4. KONTRIBUSI RADIO MELAHIRKAN “THE
REAL BROADCASTER"
Dalam
kesempatan lain Harley Prayudha (FDR 001) menggulirkan topik diskusi
persoalan-persoalan SDM penyiaran radio, pernyataan pertama yang muncul dari Pati
Perkasa (FDR 029) : “ternyata sekali kerja di RADIO. memang tidak ada duanya.
Yang penting sekarang terus belajar-dan terus belajar sambil mengembangkan ilmu
yang didapat sebelumnya, setuju sama orang yang pernah bilang sekali masuk
Radio, terus berkarya” pernyataan ini disambut oleh Kartika Widyastuti (FDR
169) dengan candanya yang khas mengatakan “ Naaah… ini dia nih, "potential
candidate for the real radio broadcaster", Ngakunya dulu bosen dan gak
maju- maju kerja di radio… keluar dari Masima… eeeeeh masuknya keradio lagiiii…
hahahahaha…Go Pati Goo…. The sky IS NOT even your limit, bro !! “ dijawab lagi
oleh Pati Perkasa (FDR 029): " Wah kalo Mbak Tika yang ngasih masukan
padat, singkat dan jelas...tapi langsung mengena"
Lain
hal nya dengan komentar dari Wahid Sangun (FDR 216) yang mengatakan bahwa
praktisi radio di daerah, khususnya daerah Karawang yang menurut letak kotanya
tidak terlalu jauh dari ibukota pengelolaan manajemen radio masih tergolong
nanggung alias tidak total sehingga hasil yang didapat pun tidak sedahsyat yang
diinginkan. Selain itu pemilik radionya nya kurang berani spekulasi dan hanya
bermain "safe", jadi sebagai seorang praktisi radio hanya mempunyai
cita-cita yang tidak dapat dilaksanakan secara maksimal atau dengan kata lain
inovasi dan improvisasi praktisi radio tidak akan berjalan tanpa dukungan
maksimal dari Pemilik Radio. Wahid Sangun (FDR 216) mengingatkan seharusnya
bukan hanya workshop atau training saja untuk meningkatkan SDM radionya tap
perlu juga pemilik radio di training agar dapatmemahami bahwa usaha radio itu
butuh pengelolaan yang profesional.
Menarik
juga masalah yang dilontarkan moderator ujar Nurul Purnamasari (FDR 026). Nurul
menyinggung masalah kemajuan yang signifikan, pasti dinginkan oleh siapapun
orangnya dan apapun radionya. Tidak hanya menambah pendengar dan pendapatan
saja. Permasalahannya, ketika pemilik radio dan tim kerja sudah setuju dengan
rencana kerja yang akan diluncurkan, tetapi pemahaman di lapangan sepertinya
tidak maksimal. Hal ini juga yang akan menjadi permasalahan, bagaimana visi dan
misi radio tersebut di mengerti oleh semua yang ada di radio tersebut untuk
mencapai tujuan bersama.
Ditambahkan
juga oleh Nicko Zamzani (FDR 119) bahwa radio daerah akan sangat banyak
dihadapkan pada kenyataan yang tidak siap dengan SDM-nya, baik itu dari pemilik
sampai pekerja yang paling bawah. Banyak diantaranya ketidaksiapan itu
ditunjang oleh kurang siapnya modal yang akan dipertaruhkan oleh pemilik
kemudian SDM yang tidak memadai dan masih banyak yang memandang bahwa kerja di
"RADIO adalah HOBBY" . Namun demikian Nicko Zamzani (FDR 119) tetap
optimis bahwa usaha RADIO masih berprospek cerah dan radio daerah masih bisa
berkompetesi jika dikelola dengan benar.
Sedangkan
Agung Prasetyo (FDR 004) berceloteh mempertanyakan apakah benar para kreator
radio justru mati kreativitasnya, karena kebijakan manajemen radionya, Apa
bukan yang terjadi justru sebaliknya? Banyak juga, karena radionya terlalu
mengikuti sang programer dengan bikin acara macam-macam tapi tidak melihat
perkembangan dan trend pasar, yang terjadi malah si pemilik radio setiap bulan
nombok untuk biaya operasionalnya. Lebih lanjut Agung Prasetyo (FDR 004)
bercerita: " Dulu saya masih ingat ketika masih kuliah dan nyambi jadi
penyiar. dan sampai suatu peristiwa dimana saya merasa ide-ide saya sepertinya
tidak diperhatikan oleh manajemen, saya merasa frustasi, tapi kemudian ada
seorang kawan yang mengingatkan : Gung, mari kita letakkan paradigma pikir kita
pada posisi pemilik radio". Saat kita bergabung dengan sebuah station
radio, itu yang harus kita pertimbangkan terlebih dahulu. Mau tetap idealis
atau kompromi sama pemilik radio ? tidak ada yang salah dari dua pilihan ini,
kita juga harus menghargai orang yang sudah berinvestasi dengan nominal yang tidak
sedikit dalam pendirian radio, dan tidak salah juga jika pemilik radio berharap
agar cepat modalnya kembali dan menguntungkan. Diakhir pernyataannya Agung
Prasetyo (FDR 004) menulis: "Maju terus orang radio, jangan biarkan ruang
radio ini hampa tanpa celoteh nakalmu".
Apa
yang diungkapkan Agung Prasetyo (FDR 004) dilengkapi juga oleh Bonny Prasetya
(FDR 003) yang mengatakan: Saya sepakat dengan pendapat mas Agung, tidak semua
permasalahan berasal dari pemilik radio, jangan-jangan malah dari programmer
sendiri yang tidak bisa membaca pasar? Bukankah kita di rekrut untuk menjadikan
radio itu banyak di dengar dan iklannya bertambah? Apa bisa kita menghasilkan
pendengar banyak PLUS menghasilkan uang dari hasil jualan program tersebut ?
Itu yang mungkin jadi pertanyaan pemilik radio ketika harus mengeluarkan uang
yang jumlahnya tidak sedikit. Kecuali kalau praktisi radio bisa membuktikan!
bahwa uang yang dikeluarkan oleh pemilik radio bisa mendongkrak pendapatan dan
meraih pendengar sebanyak-banyaknya. Jika kita bisa membuktikan raihan tersebut
maka keyakinan saya pemilik radio akan berpihak pada praktisi radio-nya. Mari
kita buktikan, bahwa dunia radio bukan hanya sekedar HOBBY !!!.
Tanggapan
penyataan Agung Prasetyo (FDR 004) dan Bonny Prasetya (FDR 003) dikomentari
Kartika Widyastuti (FDR 169) : ‘membela’ pemilik radio, saya pikir itu
pandangan subyektif Mas Agung dan Mas Bonny, seharusnya pandangannya adalah
realistis yaitu realistis dengan membuat analisa SWOT yang benar. Radio yang
tidak pernah membuat SWOT dan Rencana Kerja, itulah yang saya pikir adalah
‘radio hobby’…If you want to be professionals and run a real business, then act
like one. Either way your radio IS [your owner’s] hobby.
II.5. GOOD ANNOUNCER
Menurut
Ning Dyah (FDR 030) Sebenarnya praktisi radio punya, kontribusi atas minimnya
penyiar baik dan berkualitas. Dahulu betapa sulitnya menembus dunia radio jika
tidak benar-benar berbakat dan tidak "microphonic sound". Dengan
banyaknya radio baru yang seringkali membutuhkan SDM terutama penyiar dalam
waktu cepat membuat seleksi pun menjadi longgar. Belum lagi jika ada tuntutan
dari perusahaan agar bisa mendapatkan SDM dengan cepat plus harga murah.
Boleh-boleh saja ada kebijakan seperti itu, Namun sekarang bagaimana
men-training calon penyiar tersebut dengan baik untuk menghasilkan penyiar yang
baik dan berkualitas. Lebih lanjut diungkapkan Ning Dyah (FDR 030) bahwa dari
awal penyiar harus sudah ditanamkan bahwa seorang penyiar harus bertanggung
jawab dengan profesinya, Dilengkapi Niken Puspitawangi (FDR 109)
"announcer" yang baik adalah yang bisa "memadukan" antara
dua tuntutan yaitu. pertama tuntutan pendengar, bisa disukai sebagian besar
pendengar dan kedua adalah tuntutan manajemen, karena salah satu tuntutan
menejemen kepada penyiar adalah meraih sebanyak-banyaknya pendengar,
Kartika
Widyastuti (FDR 169) menjelaskan pula bahwa good announcer equals: 1) Great SMS
responds, 2).Great [Radio Advisor] ratings, dan 3).Great revenue. Namun yang
membingungkan adalah jika SMS banyak [naik], tapi Radio Advisor tidak bagus
[turun]. Boy Hamidy (FDR 022) menambahkan satu Great lagi yaitu " Great
(content) Value" Maksudnya bagaimana sang penyiar juga bisa
"delivery" nilai yang baik untuk kemanusiaan. Dengan candanya yang
khas Agung Prasetyo (FDR 004) menyetujui pendapatnya Kartika Widyastuti (FDR
169), Agung mengatakan: buat saya penyiar yang baik adalah yang mau manut dan
merasa dirinya "harus" selalu belajar" karena matinya penyiar
adalah ketika ia merasa pintar.karena tidak ada lagi keinginan untuk
mengeksplorasi kompetensi dan potensi pada dirinya. Sementara Pati Perkasa (FDR
029) mengusulkan satu unsur lagi dalam kriteria Penyiar yang "Good"
yaitu "Great Attitude". Sikap itu memang tuntutan untuk semua bagian
di radio termasuk penyiar..Akhirnya tentang "good announcer" ini
intinya adalah di "personality". Dan kepribadian ini berlaku bukan
hanya untuk penyiar, tapi juga untuk program radio secara keseluruhan. Memang
good announcer agak sulit mengukurnya tanpa indikator namun persoalan ini,
Kartika Widyastuti (FDR 169) menjelaskan bahwa dengan beberapa pernyataan
sebagai berikut: 1). Personality does not equal talk. Sometimes it's what you
DON’T say that's important, 2). Personality might mean warmth, humanity and
believability. The laugh, the comments could make you sound human and
believable, 3).Personality demands concentration and preparation. [write, edit,
re-write, get some feedback… or leave it out!], 4). Personality means knowing
when to be “on” and when and how to get “off”. [capek kaliii denger orang ngomoooongg
mulu’], 5)Personality in radio means never losing concern for the audience. Who
are they? What do they want? What are their needs? You RELATING to them, is
what it’s all about, 6).Personality means knowing YOURSELF. Consistency is a
major element of projecting personality. [maksudnya jangan moody]
Lain lagi dengan Awan Albana (FDR 016) menyampaikan pendapatnya bahwa jika
melihat kondisi lembaga penyiaran radio khususnya radio swasta kalau kita
bicara pencapaian nilai target market dalam meraup kesempatan dari Total
Belanja Iklan di Media Indonesia di setiap lini radio baik di pusat maupun
didaerah tidak merata sehingga daya serap akan kesempatan yang ada nilainya
tidak besar. Mengapa Belanja Iklan Radio di Indonesia daya serapnya
kecil dari Total Belanja Iklan di Media Indonesia, banyak sekali
"Pekerjaan Rumah" yang harus kita benahi dan kalau kita mau jujur,
pegiat radio yang berada didalam lingkup "corporate" radio tersebut sangat
tahu, apa yang kurang dari "radio-nya", namun persoalannya banyak
yang tidak tahu harus berangkat dari mana untuk menyelesaikan persoalannya. Saya secara pribadi sangat optimis, dengan
adanya media sharing seperti ini, dimana masukan berasal dari semua
infrastruktur penyiaran radio Indonesia yang "Cinta Radio" mengutip
istilah Harley Prayudha (FDR 001) "Darah - R" kita akan semakin cepat
menemukan solusi solusi terbaik untuk membenahi "pekerjaan rumah" di
radio kita masing-masing dan tanpa disadari adanya "Sharing Ikhlas"
ini menjadi modal yang sangat besar terwujudnya "Sinergi Radio
Indonesia". bersama sama kita
membenahi "Industri Radio Indonesia" yang lebih baik.
II.6.
DISKUSI POTENSI IKLAN RADIO
Sebuah diskusi menarik yang sempat muncul
di milis FDR INDONESIA. Berawal dari sebuah pernyataan untuk direnungkan oleh
praktisi radio di Indonesia. Hemat Dwi Nuryanto (FDR 394) melontarkan overview
ekonomi industri radio. Menurut
Zenith Optimedia, Pada Tahun 2009 Belanja Iklan Radio Global (Radex Global)
Sebesar $ 39 B, Sedangkan Total Belanja Iklan di Media Global (Adex Global)
Mencapai $ 504 B. Menurut RAB, Pada Tahun 2009 Belanja Iklan Radio di US (Radex
di US) Tahun 2009 Sebesar $ 16 B, Sedangkan Menurut AC Nielsen Total Belanja
Iklan di Media US (Adex di US) Mencapai $ 117 B. Menurut P3I, Nielsen, dan
PRSSNI, Pada Tahun 2009 Belanja Iklan Radio di Indonesia Sebesar Rp 630 M,
Sedangkan Total Belanja Iklan di Media Indonesia Mencapai Rp 48,5 T. Apabila dilakukan perbandingan: Radex/Adex di
Indonesia = 1,3%, Radex/Adex di US = 13% = 10 kali Radex/Adex di Indonesia, Radex/Adex
Global = 7,8% = 6 kali Radex/Adex di Indonesia. Remark
: Jumlah Penduduk Indonesia sekitar 237 Juta (Dengan Sekitar 2.000 Radio
Swasta) dan Penduduk US Sekitar 310 Juta (Terdapat Sekitar 10.000 Radio Swasta).
Bila saja Radex/Adex di Indonesia setara dengan Rata-Rata Dunia (Tidak Perlu
Sebagus di US) Maka Berpeluang Terjadi. Belanja Iklan Radio di Indonesia
Bisa Mencapai Rp 3,6 T, Gaji Crew Radio Indonesia Bisa Mencapai 3 hingga 6 Kali
Yang di terima saat ini, Keuntungan Operasional Radio Indonesia Bisa Mencapai 5
hingga 10 Kali Saat ini. Pertanyaan Bersama: Apabila
Hanya Bermimpi Untuk Mencapai Pada Suatu Tingkatan yang Setara Dengan
Negara-Negara lain, Terlalu Mulukkah Impian Kita ? Bagaimana Kita
Memperkirakan Masa Depan Kita dan Industri Kita ?.
Pernyataan diatas didalamkan lagi dengan pertanyaan (FDR 001) menurut
Mas Hemat data tersebut apakah akan sangat signifikan pengaruhnya terhadap
industri radio di Indonesia ? dan bagaimana sebaiknya pelaku industri radio
untuk menangkap peluang-peluang emas dengan perubahan-perubahan yang terjadi. Jadi
apakah dengan kondisi tersebut peluang radio untuk tetap hidup menjadi besar
(optimistik) ? padahal banyak pengamat radio sudah berada diambang HIDUP
ATAU MATI ? Hemat Dwi Nuryanto
(FDR 394) menambahkan pendapatnya bahwa ditengah pesimisme para manajer marketing radio
untuk dapat mengejar pertumbuhan penjualan diatas 10% pertahun, sepertinya
mengejar pertumbuhan pendapatan 600% dalam lima tahun kedepan (agar menuju setara
dengan rata-rata negara-negara di dunia) sesuatu yang muskil/sulit. Namun
dengan berbagai bukti, misal anak-anak bangsa kita terbukti cerdas-cerdas
diantara bangsa-bangsa lain karena hampir selalu menggondol medali-medali emas
dalam berbagai kontes adu cerdas dunia, mestinya bila hanya untuk bisa sejajar
dengan bangsa-bangsa lain seharusnya bukanlah hal tidak mungkin. Yang
diperlukan cukup 'thinking ou of the box', melakukan terobosan (inovasi) untuk
membentuk masa depan industri radio kita menjadi seperti yang kita inginkan
dengan cara berbeda (tidak seperti yg dilalui selama ini).
Menurut Alan C Kay (sebuah ungkapan terkenal dari seorang pakar rekayasa software yg saya ketahui via halaman Facebook seorang penyiar radio dan kemudian saya validasi via Wikipedia): "Cara terbaik Memprediksi Masa Depan Adalah Dengan Menciptakannya" dan menurut pendapat saya demikian pula dengan masa depan industri radio kita. Mencapai 600% peningkatan pendapatan dalam lima tahun kedepan harus menjadi target yang realistis untuk dijangkau !
Menurut Alan C Kay (sebuah ungkapan terkenal dari seorang pakar rekayasa software yg saya ketahui via halaman Facebook seorang penyiar radio dan kemudian saya validasi via Wikipedia): "Cara terbaik Memprediksi Masa Depan Adalah Dengan Menciptakannya" dan menurut pendapat saya demikian pula dengan masa depan industri radio kita. Mencapai 600% peningkatan pendapatan dalam lima tahun kedepan harus menjadi target yang realistis untuk dijangkau !
Sangat banyak alasan untuk optimis dengan masa
depan industri radio, pilihannya bukan HIDUP (tapi susah) atau MATI, namun,
BERUBAH (menjadi cerah) atau MATI . Dikomentari
Priyo Basuki (FDR 115) terkadang kita gamang harus mulai dari mana tapi
menurutnya bahwa bisa dimulai dari mana saja yang kita bisa. Perjuangan
butuh kreativitas, kekompakan, keuletan dan banyak kesabaran. Mungkin
gambaran radio di indonesia sama dengan
gambaran rakyat indonesia, mayoritas miskin dan hanya sangat sedikit yang kaya
raya.
Sarjono (FDR 406) juga berkomentar Seandainya ada
yang mau meneliti potensi belanja iklan radio di kota2 besar Ind tentunya
pengendalian pertumbuhan radio tidak boleh hanya didasarkan pada ketersediaan
kanal. Saya berharap insan radio dapat
gandeng peneliti independen untuk
analisa pertumbuhan atau kesehatan radio dengan beberapa parameter pendukung
sperti belanja iklan, demografi, pendidikan dll. Hasilnya dapat
dirumuskan untuk mengevaluasi kondisi radio eksisting atau mengendalikan
pertumbuhan. Jika perizinan sama dengan pengendalian maka
pelayanan perizinan tidak selalu berarti memberi izin. Komentar Sarjono (FDR 406) ini disanggah oleh
Slamet Mulyadi (FDR 112) bahwa pengendalian pertumbuhan radio hanya
mimpi saja. Alasan yang dimunculkan oleh Slamet Mulyadi (FDR 112) karena: 1) Filosofi pemerintah (Postel) kanal frekuensi
adalah UANG. Tidak boleh ada yang nganggur. Pemerintah menyamakan posisi
lembaga penyiaran radio seperti bisnis seluler. Selama masih ada kanal, pasti
akan terisi. 2). Pemerintah (Kemenkominfo)
telah menerbitkan Permen tentang Daerah Ekonomi Maju dan Daerah Ekonomi Kurang
Maju, serta Permen tentang Indeks Peluang Usaha Penyiaran. Apakah kedua hal
tersebut menjadi pertimbangan dalam pemberian Izin Penyiaran ?. 3) Pemerintah telah mengeluarkan Permen No 13
Tahu 2010 tentang Revisi Kedua Kanal Frekuensi; ada penambahan kanal di daerah
Kecamatan (khususnya di luar Jawa) masing-masing 3 kanal frekuensi untuk LPS, Bukan
Komunitas. Apa dasar penambahan kanal tersebut ? Berapa jumlah penduduk di
Kecamatan Pulau Sembilan Kabupaten Kota Baru (misalnya)?.
Seberapa besar potensi ekonomi yang mayoritas pencaharian penduduknya nelayan ?
4. Kemenkominfo punya Badan Litbang; mestinya itu yang diberdayakan, dengan
konsekuensi beri alokasi anggaran yang cukup. Mendirikan radio itu
mahal. Tapi kalau Pemerintah tidak memperhatikan prospek radio tersebut seteleh
diberi Izin, sama saja dengan menyengsarakan. Untuk itu, kita perlu
mempertanyakan sebetulnya mau dibawa kemana industri penyiaran radio ini oleh
Pemerintah kita. Sarjono (FDR 406) menambahkan bahwa kita harus berani
bermimpi, menggunakan rezim UU Penyiaran. Kajian akademis bisa kita diskusikan
dan perdebatkan dipintu masuknya KPI/D. Memang Postel akan sulit menolak
permohonan bila kanal masih tersedia. Bukankah Postel hanya ketemu di ujung
akhir. Kita mesti
ciptakan filter lain selain kanal, dan kalau litbang pusat belum tertarik? Kita
dapat mendekati litbang yg ada di propinsi yg namanya BPPKI (ini juga unit
kerja kominfo).
*)
Bersambung.....
*) Penulisnya rehat dulu...
*) Diperuntukan Bagi Yang Senang Membaca
*) Penulisnya rehat dulu...
*) Diperuntukan Bagi Yang Senang Membaca
Tidak ada komentar:
Posting Komentar