"Usaha Berbasis Budaya Hadapi MEA"
Oleh
: Dr. Harliantara, Drs. M.Si. *)
Menteri Koordinator bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) Puan Maharani membuat program untuk mendorong perekonomian rakyat berbasis budaya. Langkah itu merupakan momentum yang tepat untuk menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) dan persaingan global.
Program
dinamai Gerakan Masyarakat Usaha Berbasis Budaya disingkat Gema Berbudaya.
Merupakan gerakan untuk membangun usaha rakyat berbasis produk budaya sehingga
memiliki daya saing sekaligus membangun karakter dan kepribadian nasional.
Salah
satu langkah nyata Menko Puan untuk memasyarakatkan gerakan adalah menjadikan
Sukoharjo sebagai Kabupaten Jamu. Ada dua aspek yang bisa mempercepat gerakan
tersebut, yakni pelibatan UMKM secara tepat dan adanya platform customer
demands more dalam berusaha. Yakni platform untuk mengakomodasi prilaku
customer pada saat ini yang lebih demanding. Karena pada era sekarang ini
customer terus mencari informasi dan menjadikan pengalaman yang lain untuk
referensi tentang produk dan jasa.
Perikaku
diatas akibat customer journey yang diperkuat konvergensi teknologi informasi
dan komunikasi. Khususnya sosial media berbasis internet. Apalagi dengan
perkembangan telekomunikasi ke arah LTE dan 4G semakin penting promosi usaha
berbasis budaya via online.
Sistem
dan strategi konektivitas nasional perlu segera mewujudkan platform yang mampu
memberikan kesempatan kepada usaha berbasis budaya untuk bergabung dalam
komunitas online atau dikenal dengan istilah e-Marketspace. Yang merupakan
pasar virtual di mana para penjual dan pembeli menukar jasa dan barang-barang
yang dilakukan secara elektronik.
Layanan
e-Marketspace secara mudah mempertemukan para konsumen global dengan pelaku
usaha. Juga memudahkan pertukaran informasi produk, jasa, dan pembayaran.
Selain itu menyediakan infrastruktur kelembagaan atau komunitas terkait. Salah
satu pihak yang telah menyiapkan sistem e-Marketspace di negeri ini adalah PT
Telkom. Diharapkan dengan infrastruktur tersebut para pengusaha berbasis budaya
bisa mewujudkan konten produk agregasi untuk penetrasi pasar secara efektif.
Gema
Berbudaya harus bisa mentransformasikan para pengusaha berbasis budaya tidak
sekedar mampu memproduksi produk yang layak di festivalkan. Tetapi produk
tersebut juga mampu melahirkan nilai-nilai yang mengandung unsur human spirit.
Salah satu contohnya adalah produk kerajinan keramik yang dikawinkan atau
digabung dengan proses membatik. Melukis batik dengan media keramik tentunya
punya keunikan dan nilai tambah tersendiri.
Belajar
dari Incheon kota pusat manufaktur keramik Korea Selatan yang kini telah
berhasil mentransformasikan diri menjadi entitas tourism 3.0 karena mampu
mewujudkan The Incheon Ceramics Village yang merupakan wahana berkarya bagi
komunitas pecinta dunia keramik. Incheon telah bertransformasi tidak sekedar melakukan
ceramics festival yang merupakan level tourism 2.0. Dengan potensi budaya dan
sumber daya alamnya, mestinya Indonesia tidak kalah dengan Incheon. Entitas
kerajinan keramik di Indonesia sebenarnya mampu mengadakan festival kerajinan
keramik yang spektakuler dengan berbagai macam motif batik yang dimiliki
berbagai daerah. Pemerintah bersama entitas pengusaha keramik mestinya juga
mampu membangun ceramics village berkarakter budaya Indonesia. Sehingga
terwujudnya level tourism 3.0 yang melahirkan sederet nilai-nilai human spirit
yang mendunia.
Daya
saing untuk menghadapi MEA sangat ditentukan oleh aspek konektivitas. Aspek
tersebut tidak hanya berbentuk fisik atau infrastruktur tetapi juga
konektivitas kebudayaan. Masalah konektivitas suatu bangsa sangat ditentukan
oleh kondisi teknologi informasi dan komunikasi (TIK) sejauh mana mampu
mendukung aktivitas perekonomian dan budaya. Sehingga aplikasi dan layanan TIK
menjadi inisiatif baru bagi entitas kebudayaan dan usaha. PT TELKOM sebagai
salah satu pihak yang tergabung dalam APEC Business Advisory Council (ABAC)
telah membuat cetak biru untuk mendongkrak indeks konektivitas nasional yang
bisa menguatkan potensi lokal. Pada saat ini tingkat konektivitas di Indonesia
masih rendah di kawasan Asia Tenggara. Sekedar catatan, indeks konektivitas di
Malaysia telah mencapai 6,61, Thailand 3,68 dan Vietnam 2,73. Sedangkan indeks
Indonesia baru 2,15. Implikasi dari rendahnya indeks konektivitas adalah produk
dan konten lokal di negeri ini sering mengalami kesulitan dalam penetrasi
pasar.
Para
ahli komunikasi di negeri ini perlu merumuskan strategi dan sistem konektivitas
nasional yang mampu mengatasi mutu, keragaman, dan kreativitas usaha berbasis
budaya. Tolok ukur keberhasilan konektivitas nasional tidak sekedar dibangunnya
sarana TIK di perdesaan. Tolok ukur keberhasilan harus lebih esensial yakni
terkait proses kreatif dari entitas usaha berbasis kebudayaan lokal.
Menghadapi
MEA sebaiknya Kementerian Pariwisata Kabinet Kerja yang dipimpin oleh Arief
Yahya membuat terobosan. Hal itu untuk membenahi promosi supaya jumlah
kunjungan wisatawan mancanegara atau wisman meningkat secara signifikan. Untuk
mewujudkan target perlu meningkatkan konektivitas serta layanan pendukung
pariwisata dan pemberian fasilitasi terhadap pengusaha berbasis budaya.
Terobosan
Kementerian Pariwisata diatas sebaiknya dibiayai lewat dana Universal Services
Obligation (USO ) dari perusahaan besar. Antara lain USO yang berasal dari
operator telekomunikasi yang selama setahun bisa terkumpul hingga triliunan
rupiah. Apalagi Menteri Arief Yahya sebelumnya menjabat dirut PT Telkom
tentunya mengerti sekali terkait dana USO dari perusahaan telekomunikasi.
Apalagi kini PT Telkom terus menggenjot bisnis nonseluler terkait industri
kreatif dan pariwisata untuk mendongkrak kinerja keuangannya dimasa depan.
Dengan demikian adanya insentif USO dari perusahaan telekomunikasi untuk pelaku
usaha berbasis budaya bisa dikatakan sebagai stimulus yang akan memperkuat daya
saing menghadapi MEA.
Dalam
teori pengembangan ekonomi kratif, bermacam portofolio usaha berbasis budaya
memerlukan transformasi kearah co-creation ( colaboration creation ). Istilah
co-creation dikemukakan oleh C.K. Prahalad untuk menjelaskan cara baru dalam
inovasi model bisnis. Metode baru itu menciptakan produk melalui kolaborasi
perusahaan, konsumen, pemasok, dan mitra distribusi yang semuanya saling
terhubung dalam sebuah jaringan inovasi.
Prahalad
menekankan adanya tiga proses kunci dalam co-creation yang bisa diterapkan oleh
usaha berbasis budaya. Pertama, perusahaan sebaiknya menciptakan sebuah
platform yang bisa disesuaikan lebih lanjut oleh pihak lain. Kedua, memberi
kesempatan kepada konsumen di dalam jaringan menyesuaikan platform agar sesuai
dengan karakter atau identitas mereka. Ketiga, memujudkan komunikasi umpan
balik konsumen dan memperkaya platform dengan memadukan semua usaha yang telah
dilakukan oleh jaringan konsumen.
Metode
co-creation semakin penting karena portofolio industri pariwisata dimasa
mendatang semakin bersenyawa dengan industri kreatif, travel dan media baru
atau media sosial untuk penetrasi pasar. Tak bisa dimungkiri lagi media sosial
telah mendorong ekosistem co-creation semakin mencapai tahap maturitas atau
matang.
*] Dosen Ilmu Komunikasi Fakultas Komunikasi dan Administrasi, Universitas Sangga Buana Bandung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar