Sabtu, 07 Mei 2016

AGENDA KRUSIAL PENYIARAN - Oleh Dr. Harliantara, Drs., M.Si. , Koran Jakarta, 2 April 2016

Hari Penyiaran Nasional (Harsiarnas) diperingati setiap 1 April. Peringatan diselenggarakan di Mataram, Nusa Tenggara Barat dengan tema “Mewujudkan Dunia Siaran yang Sehat dan Berkualitas dalam Menghadapi Era Konvergensi Media.” Sejarah kelahiran Harsiarnas bermula dari Solo yang ditandai dengan berdirinya pemancar Radio pertama di tanah air oleh Mangkunegara VII pada 1 April 1933. Namanya Solose Radio Vereneging (SRV). Radio SRV bisa didengarkan hingga ke luar negeri.
Karya Mangkunegaran VII dilanjutkan terbentuknya organisasi Perikatan Perkumpulan Radio Ketimuran (PPRK), sebuah asosiasi penyiaran nasional pertama di Indonesia pada 28 Maret 1937. Seniman Gesang menjadi salah satu saksi awal perkembangan penyiaran sekaligus merupakan buah SRV. Gesang pertama kali menggubah lagu pada tahun 1934 saat usia 20. Kehadiran SRV saat itu benar-benar mampu membangkitkan seni dan budaya. Lagu Bengawan Solo (1940) juga dipopulerkan melalui SRV.
Harsiarnas 2016 kali ini sangat istimewa karena ada empat agenda krusial terkait dunia penyiaran. Di antaranya, revisi Undang- Undang Penyiaran. Setelah macet pembahasannya, rancangan revisi UU Penyiaran Undang-Undang Penyiaran No 32 tahun 2002 kini masuk dalam Pogram Legislasi Nasional 2016.
Undang-undang tersebut mengandung sejumlah kelemahan sehingga perlu direvisi. Di antaranya, perlu penguatan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), mencegah pemusatan kepemilikan lembaga penyiaran, Sistem Stasiun Jaringan (SSJ). Kemudian tentang rencana penggabungan TVRI dan RRI menjadi RTRI.
Agenda lain, pemilihan KPI. Pada periode pemilihan komisioner yang lalu tahapannya terjadi penyimpangan sejak pemilihan panitia seleksi. Masyarakat melihat intervensi politik untuk mengamankan kepentingan pemilik industri televisi. Kejadian buruk tersebut hendaknya tidak terulang karena betapa penting reputasi dan profesionalitas para komisioner mendatang. Visi dan misi KPI untuk membangun media penyiaran yang mencerdaskan masyarakat serta mampu menjadi komponen konektivitas andal belum terwujud. Sudah saatnya KPI bekerja keras mereformulasi kompetisi bisnis penyiaran yang lebih sehat dan berkeadilan. Mengembalikan hakikat penyiaran kepada publik dari kooptasi kapitalisme. Masyarakat sangat prihatin melihat industri penyiaran, khususnya televisi, telah berganti rupa dan menginvasi nilai-nilai masyarakat.
Perpanjangan
Agenda berikut perpanjangan izin televisi swasta. Aturan UU Penyiaran No 32 tahun 2002 menyebut, izin penyelenggaraan penyiaran televisi swasta diberikan untuk jangka 10 tahun. Tahun 2016, izin tersebut akan diperpanjang lagi dan saat ini sedang berlangsung proses uji publik. KPI minta pendapat masyarakat terkait stasiun-stasiun televisi yang akan memperpanjang izin.
Dari proses perpanjangan izin ini bisa dilihat apakah regulator penyiaran bersungguh-sungguh mendengar masukan warga. Apakah dia berani menjalankan rekomendasi publik terhadap televisi yang dinilai tidak layak beroperasi. Tidak kurang organisasi masyarakat keagamaan seperti PP Muhammadiyah menyerukan untuk mengoreksi izin penyelenggaraan penyiaran (IPP) 10 stasiun televisi.
Ini berkaitan tayangan yang telah disuguhkan banyak bermasalah. Saat ini momentum tepat untuk mengoreksi televisi- televisi. Koreksi hendaknya memakai pisau bedah dan tidak pandang bulu pemiliknya. Agenda tak kalah penting, penerapan digitalisasi televisi. Tahapan digitalisasi televisi juga krusial karena tidak ada payung hukum setelah Peraturan Menteri Kominfo Nomor 22 Tahun 2011 tentang penyelenggaraan televisi digital dibatalkan Pengadilan Tata Usaha Negara 5 Maret 2015 lalu.
Namun, dengan kondisi tersebut, pemerintah tetap harus memformulasi digitalisasi dengan berpegang pada prinsip demokratisasi penyiaran. Tak bisa dimungkiri bahwa industri penyiaran merupakan intersection dari entitas ekonomi dan elite politik. Hal itu berimplikasi sebagai ancaman demokrasi dan aspirasi rakyat. Fenomena seperti ini sudah diingatkan beberapa ilmuwan seperti Noam Chomsky dan Robert McChesney. Mereka menyatakan bahwa konglomerasi media atau industri penyiaran bisa merusak demokrasi dan nilai-nilai kerakyatan.
Masalah transformasi tv digital sangat kompleks dan berpotensi konflik di sana-sini. Pemerintah perlu menyeleksi Lembaga Penyiaran Penyelenggara Penyiaran Multipleksing (LPPPM) untuk penyiaran televisi digital terestrial penerimaan tetap tidak berbayar di beberapa zona. Eksistensi LPPPM dan proses seleksi telah ditentang berbagai pihak, antara lain Asosiasi Televisi Lokal Indonesia (ATVLI).
Proses seleksi LPPPM hendaknya dilakukan secara kredibel, menjangkau persoalan ke depan dan dilakukan secara transparan. Masalah lain yang penting LPPPM dan penyelegara program siaran (LPPPS) harus mampu mengedepankan lokalisasi. Ini termasuk komponen maupun program siaran yang betul-betul bersifat lokal dan berakar. LPPPS harus bisa mengembangkan konten lokal. Masalah konsentrasi kepemilikan media kini melebar menjadi konflik politik serius.
Masalah tersebut kini tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di Eropa karena pesatnya transformasi media global dan berkembangnya media baru. Politisi di Eropa, khususnya yang duduk di parlemen sangat khawatir terkait konsentrasi kepemilikan media yang mengancam keberagaman.
Salah satu fenomena yang menjadi sorotan tajam politisi di Eropa adalah Bertelsman AG yang merupakan perusahaan media terbesar Eropa. Dia masuk 10 besar kelompok media dunia. Bertelsmann AG menguasai 31 jaringan televisi dan 30 radio di 10 negara. Dia menjual produksi siaran ke seluruh dunia.Jaringan televisinya termasuk saluran- saluran RTL Television di Jerman, M6 di Perancis, Five di UK, Saluransaluran RTL di negara-negara Benelux, Kroasia dan Hungaria, serta Antenna 3 di Spanyol. Fremantle Media adalah anak perusahaan RTL Group dan salah satu pencipta serta produsen terbesar merek-merek program dunia yang dijual di lebih dari 40 negara.

Tidak ada komentar: